Sastra jawa modern
Jika ada sebuah pertanyaan diajukan kepadaku,”Apa yang membuatmu
bangga menjadi warga negara Indonesia ?”
Aku akan menjawab bahwa banyak hal yang membuatku bangga dan mencintai tanah
airku. Tanah airku amat kaya. Kaya akan hasil bumi, kaya akan tempat-tempat
yang berparonama indah, dan kaya akan budaya. Indonesia
patut mempunyai gelar sebagai the colourful culture country karena Indonesia
memiliki budaya yang majemuk. Majemuk dalam hal bahasa, tata cara pernikahan,
pakaian adat, tarian, cerita rakyat, rumah adat, tata cara pemakaman, dan masih
banyak lagi yang lain.
Dalam suatu daerah yang berdekatan, hanya karena berbeda struktur
geografisnya, juga memiliki budaya yang tidak seragam, walaupun tipis
perbedaannya, misal adalah Blitar dan Malang .
Keduanya berada di propinsi Jawa Timur, kebanyakkan penduduknya adalah suku
Jawa, namun dialeknya berbeda. Dialek Malang sedikit lebih kasar daripada
Blitar. Orang Blitar suka berkata “piye” untuk menanyakan suatu kondisi,
sedangkan orang Malang
akan berkata “ya’opo”. Kalau kita
mengkaji lebih dalam akan perbedaan kedua kota tersebut, kita akan terkejut
akan hasil yang kita temukan. Ternyata cukup banyak perbedaan budaya penduduk
Malang dan penduduk Blitar.
Kemajemukan budaya juga terjadi di keluargaku.
Ayahku berasal dari Indramayu, sebuah kota di
Jawa Barat. Secara turun temurun beliau memiliki garis keturunan Sunda. Ibu
berasal dari Malang dan berdarah Jawa murni. Perbedaan budaya tersebut memberi
keuntungan lebih padaku. Aku jadi mengenal kebudayaan Sunda sekaligus
berkebudayaan Jawa. Dalam keseharian, aku sering menjumpai penerapan kedua
kebudayaan tersebut. Ibu sering memasak lalapan, pepes, dan masakan khas Sunda
lainnya. Ayah sering memutar kaset Jaipong pada waktu aku kecil. Di rumah,
karena aku tinggal di Malang, aku lebih sering berbahasa Jawa, sedangkan bila
saudara ayah tiba atau aku pergi ke Indramayu, sedikit-sedikit aku belajar
bahasa mereka. Bahasa mereka juga halus seperti Jawa krama, namun dialeknya
berbeda. Mereka lebih banyak menggunakan huruf vokal ‘a’ daripada ‘o’.
Ayahku seorang pemerhati kesenian, wawasan
Beliau akan kesenian cukup luas. Sejak aku kecil, ayah sering bercerita tentang
cerita-certa rakyat, terutama cerita Panji. Ibu juga seorang penggemar sastra
Jawa, dia berlangganan ‘Panjebar Semangat’, sebuah majalah berbahasa Jawa, dan
dia mahir membaca tulisan Jawa ‘hanacaraka’.
Berbicara tentang sastra jawa, ternyata
sastra Jawa tumbuh melalui beberapa fase, dari Jawa kuno, Jawa menengah, hingga
Jawa modern. Wujudnya juga beraneka ragam, di antaranya berupa naskah filsafat
dan keagamaan yang berbentuk prosa dan kakawin yang berbentuk puisi. Tidak
mudah untuk memahami karya sastra Jawa kuno dan Jawa menengah. Itu memerlukan
studi khusus karena berupa naskah kuno.
Cabang ilmu yang khusus tersebut adalah
filologi. Menurut buku berjudul Kalangwan, karya Prof. Dr. P.J. Zoetmulder,
filologi Jawa kuno selama ini masih tetap terbentur pada kekurangan pengetahuan
kita tentang bahasa dan latar belakang sosial kulturalnya, sehingga banyak kata
susah dipahami. Lewat karya-karya seni inilah, para nenek moyang suku Jawa
mengungkapkan ide-ide religius beserta pandangan mereka mengenai manusia dan
semesta alam.
Dahulu, seni menulis puisi di Jawa disebut
kalangwan atau kalangon, yang jika diartikan ke bahasa Indonesia berarti
‘keindahan’. Dinamakan keindahan karena dengan menciptakan dan menikmati
karya-karya sastra, orang akan terhanyut akan pesona untaian kata-kata, jiwa
seakan melayang ke luar dari dalam dirinya (ekstasis – ‘lango’).
Pengetahuan kita mengenai sejarah Jawa kuno
terutama berdasarkan piagam-piagam dan prasasti-prasasti lama, yang ditulis di
atas batu atau lempeng-lempeng dari perunggu. Tanggal yang tercantum di tulisan
tersebut merupakan rangkaian kata yang mengungkapkan gejala-gejala astronomis,
misalnya prasasti Sukabumi:”Pada tahun 726 penanggalan Saka, dalam bulan
Caitra, pada hari kesebelas paro terang, pada hari haryang(hari kedua dalam
minggu yang memiliki jumlah hari enam), wage(hari keempat dalam minggu yang
memiliki jumlah hari lima), saniscara(hari keempat dalam minggu yang memiliki
jumlah hari tujuh) …” dan seterusnya.
Dalam prasasti-prasasti berikutnya, sistem
penyebutan tanggal disempurnakan lagi, sehingga juga menyebut tinggi bulan,
sebuah planet tertentu, dan konstelasi maupun konjunksi dua bintang.
Prasasti Sukabumi dibuat pada tanggal 25
Maret 804 Masehi dan merupakan prasasti tertua yang menggunakan bahasa Jawa
kuno yang ditemukan sampai saat ini. Maka dari itu, tanggal tersebut merupakan
tonggak yang mengawali sejarah bahasa Jawa kuno. Sejak saat itu bahasa Jawa
kuno dipakai dalam kebanyakkan dokumen resmi.
Bahasa Jawa kuno termasuk rumpun bahasa yang
dikenal sebagai bahasa-bahasa Nusantara dan merupakan sub-bagian dari kelompok
linguistik Austronesia. Di antara bahasa-bahasa Nusantara yang berjumlah
sekitar 250 macam, bahasa Jawa menduduki tempat istimewa karena karya-karya
sastranya berasal dari abad ke-9 dan ke-10.
Ada dua sifat yang nampak dalam bahasa Jawa
kuno, yaitu adanya kata-kata yang berasal dari bahasa Sansekerta, bahasa yang
secara linguistik termasuk suatu rumpun bahasa yang lain sama sekali. Sifat
kedua, walaupun pengaruh Sansekerta cukup besar, dalam segala susunan dan
ciri-ciri pokok, bahasa Jawa kuno tetap merupakan suatu bahasa Nusantara.
Dalam buku Sanskrit in Indonesia, J Gonda
membahas pengaruh bahasa Sansekerta terhadap bahasa-bahasa nusantara. Dalam
sebuah tinjauan umum dia mencatat: “Secara linguistik pengaruh India terhadap
daerah-daerah Indonesia yang mengalami proses Hinduisasi tidak mengakibatkan
semacam pembauran antara bahasa India sehari-hari dan salah satu idiom bahasa
Nusantara, melainkan suatu bahasa Nusantara yang diperkaya dengan penambahan
dan pencampuran kata-kata Sansekerta serta sejumlah kecil kata-kata Indo-Arya
yang lebih muda.” Selanjutnya, menurut Gonda, puisi bahasa Jawa yang disusun
dalam bentuk kakawin mengandung sekitar 25% sampai 30% kesatuan kata yang
berasal dari bahasa Sansekerta.
Walaupun persentase bahasa Sansekerta cukup
besar dalam bahasa Jawa kuno, namun melalui penelitian tidak dapat dibuktikan
bahwa ini disebabkan adanya hubungan perdagangan India-Indonesia dan penyebaran
agama Hindu di Jawa. Bahasa Sansekerta bukan bahasa sehari-hari, namun
merupakan bahasa ilmu sastra, bahasa sastra keagamaan Hindu, dan bahasa yang
dipakai dalam lapisan atas, khususnya istana.
Memakai kata-kata Sansekerta pada saat itu
merupakan suatu mode, untuk menaikkan status atau gengsi karena Sansekerta
dianggap berasal dari kebudayaan yang lebih tinggi. Alasan lain yang mendorong
para pengarang memasukkan kata-kata Sansekerta khususnya dalam puisi ialah
keinginan mereka untuk memperkaya kosakata juga untuk mematuhi kaidah-kaidah
dalam puisi. Kaidah-kaidah itu seperti metrum dan naik turunnya suara.
Pada waktu dokumen-dokuemen itu ditulis, yaitu
pada abad ke-9, pusat kekuasan politis dan kehidupan kebudayaan terdapat di
Jawa Tengah. Sekitar tahun 930 Masehi, pusat itu bergeser ke arah timur dan
sejarah Jawa Tengah berabad-abad lamanya tidak dapat diketahui karena tidak ada
karya seni atau karya arsitektur yang dapat menceritakan kondisi pada waktu
itu.
Jawa kuno mewujudkan kebudayaan Hindu-Jawa,
Ketika pada akhir abad ke-17 Kerajaan Blambangan musnah dan kekuasaan Jawa
dipegang oleh kekuasaan Islam, maka tamatlah sastra Jawa kuno. Kondisi-kondisi
agar sastra Jawa kuno dapat bertahan dan melangsungkan eksistensinya sebagai
peninggalan dari masa silam telah lenyap. Ini disebabkan karena lenyapnya
keraton-keraton, baik sentral maupun regional, dimana karya sastra dipelihara
dan terus-menerus diperbaharui oleh para juru tulis. Selain itu disebabkan
banyaknya karya sastra yang musnah pada saat pergantian kekuasaan Hindu ke
Islam.
Pada masa pancaroba itu hanya sedikit karya
sastra yang dapat bertahan, di antaranya Ramayana dan Arjunawiwaha. Kemudian, pada
akhir abad ke-18 di kalangan kraton Surakarta terjadi suatu gerakan satra yang
menghasilkan berbagai karya sastra seni yang bermutu. Namun di Jawa, perhatian
terhadap sastra Jawa kuno telah surut. Pusat-pusat yang dahulu memancarkan
gairah bagi aktivitas kesusastraan telah tiada. Kita patut berterima kasih
kepada Majapahit. Kerajaan ini mengekspansi Bali dan karya sastra Jawa kuno
juga banyak tersebar di pulau ini. Di
Bali, keraton-keraton tetap menjada warisan kebudayaan Hindu-Jawa dan brahmana
tetap memperhatikan serta mempelajari tulisan-tulisan keagamaan kuno itu.
Sastra-sastra yang termasuk sastra Jawa kuno
dalam perkembangannya mengalami banyak perubahan. Ada kata-kata yang tidak
dipakai, banyak kata-kata baru, perubahan semantis juga terjadi. Ini dapat kita
amati setelah membanding-bandingkan berbagai karya sastra. Namun bila kita
membandingkan karya pada akhir abad ke-11, Arjunawiwaha, dengan karya pada
akhir abad ke-15, Siwaratrikalpa(Lubdhaka), ternyata sedikit sekali perbedaan
dalam fonetika dan gramatikal. Hanya karena Arjunawiwaha ditulis lebih dahulu
da Lubdhaka ditulis kemudian, maka karya kedua itu disebut karya Jawa
pertengahan. Istilah tersebut seolah-olah menggambarkan bahwa Jawa pertengahan
merupakan bentuk bahasa pada akhir jaman Hindu-Jawa dan suatu tahap peralihan
antara Jawa kuno yang sering kita jumpai dalam kakawin klasik dan bahasa Jawa
modern pada abad-abad kemudian.
Pada sastra Jawa kuno – dalam arti luas – ada
dua macam puisi, yaitu kakawin dan kidung. Kakawin menggunakan metrum-metrum
dari India, sedangkan kidung menggunakan metrum-metrum asli Jawa. Dalam
bahasanya pun terdapat perbedaan. Kakawin menggunakan bahasa Jawa kuno dalam
arti sebenarnya, sedangkan kidung menggunakan bahasa Jawa pertengahan. Namun,
kalimat tersebut tidak dapat dibalik, seolah-olah Jawa kuno merupakan bahasa
yang dipakai dalam kakawin dan Jawa pertengahan ialah bahasa yang dipakai dalam
kidung
Perioderisasi Jawa kuno dan Jawa pertengahan
masih merupakan bahan menarik untuk dikaji. Kakawin walaupun digolongkan ke
dalam sastra Jawa kuno ternyata dapat bertahan hingga seribu tahun, karena
adanya kaidah yang ketat dalam penulisannya. Kakawin ditulis dalam sustu bentuk
sastra Jawa kuno yang khusus, dan setiap orang yang menulis sebuah syair
sejenis itu berkewajiban untuk meniru bahasa tradisional, walaupun bahasa itu
dalam perputaran waktu telah manjadi bahasa yang mati. Di Bali, setelah
Majapahit runtuh, juga masih ditulis, sehingga tradisi lokal di Bali menganggap
beberapa kakawin sebagai hasil penulisan pada abad ke-19. Ini menyebabkan kita
tidak dapat menyimpulkan bahwa sastra kakawin mencerminkan bahasa jamannya. Ini
juga dialami oleh sastra Jawa pertengahan. Pada kidung tidak dapat ditentukan
tanggal penulisan. Kebiasaan penulis kakawin yang menyebut nama raja serta
tanggal kejadian, tidak ditemui di kidung.
Sedikit sebagai patokan dalam perioderisasi
sastra Jawa, kebanyakkan kidung ditulis di Bali. Berdasarkan karya-karya yang
kita miliki, semua karya sastra Jawa pertengahan berasal dari Bali, tetapi tidak
berarti bahwa karya ini tidak dikenal di Jawa sebelum runtuhnya Majapahit.
Istilah Jawa kuno, Jawa pertengahan, dan Jawa
modern jika ditilik dari linguistik benar-benar membingungkan. Seolah-olah
perioderisasi ini dibuat hanya berdasarkan masa atau kejadian tertentu. Istilah
Jawa modern biasanya dipakai untuk menunjukkan bahasa yang dipakai dalam sastra
Jawa padaawal abad ke-19.
Menurut sebuah teori, perioderisasi sastra
tersebut berdasarkan rangkaian-rangkaian peristiwa. Hingga masa kekuasaan
Majapahit, selain bahasa Jawa kuno yang digunakan menulis kakawin, jugaada
bahasa Jawa lain, yang juga digunakan untuk menulis karya sastra lain. Setelah
muncul kekuasaan Islam, bahasa Jawa lain itu pecah menjadi dua, yaitu bahasa
Jawa yang dipergunakan di Bali dan disebut Jawa pertengahan, dan bahasa yang
digunakan masyarakat Islam selanjutnya yang disebut Jawa modern. Memang teori
ini masih memiliki kelemahan-kelemahan, namun secara rasional dapat diterima.
Dahulu, sastrawan Jawa menulis karyanya di lempengan batu dan
prasasti, namun ada juga yang menggunakan daun lontar. Lontar tersebut diproses
hingga menjadi kaku dan siap ditulisi. Jika berupa cerita, biasanya lontar
tersebut dipotong-potong berukuran panjang 40-60 cm dan 3-5 cm untuk lebarnya.
Bagian ujung dilubangi sehingga dapat dibendel kemudian diberi cover dari bahan
yang lebih tebal. Sayangnya daun lontar tidak dapat bertahan
lama. Kerusakan umumnya disebabkan karena serangga. Jarang ada daun lontar yang
sanggup bertahan berabad-abad, Indonesia hanya memiliki daun lontar yang
berumur 1-1.5 abad. Koleksi karya sastra kuno tersebut ada di tiga tempat,
yaitu: Perpustakaan nasional di Jakarta, perpustakaan Universitas negeri Liden,
Belanda, dan perpustakaan Kirtya di Singaraja. Koleksi terbanyak ada di Leiden.
Ini tidak mengherankan karena pada saat itu pemerhati budaya Jawa banyak
berasal dari Belanda.
Karya-karya sastra Jawa turut andil dalam perkembangan sastra
Nusantara, karya-karya pujangga besar seperti Negarakertagama yang ditulis oleh
Mpu Prapanca, Arjunawiwaha-Mpu Kanwa, Sutasoma, Ramayana, Desawarnana,
Porusadasanta, Kidung Sunda, dan masih banyak lagi yang lain. Adanya
karya-karya sastra tersebut hingga sekarang juga karena jasa juru salin, yang
mengawetkan karya sastra tersebut dari tahun ke tahun. Kemungkinan kesalahan
tulis dapat terjadi. Bisa dikarenakan kekurangtelitian atau kemiripan huruf,
kesalahan itu dapat terjadi.
Karya-karya sastra tersebut merupakan salah satu kekayaan bangsa
kita, dimana kita dapat mengetahui suatu sejarah dan pemikiran nenek moyang
kita. Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa penelitian di bidang ini masih
terbuka luas. Masih banyak hal-hal yang tidak kita ketahui, misal perdebatan
akan perioderisasi sastra Jawa, dan masih banyaknya karya yang sulit dibaca.
Perlu adanya tekad dan usaha kita sebagai bangsa yang mencintai budaya untuk
tetap melestarikan karya-karya langka ini. Memang upaya ini tidak bisa
dipaksakan ke generasi muda mengingat banyaknya hal-hal yang mungkin lebih
menarik minat mereka. Namun pasti di antara mereka masih banyak yang sadar dan
mencintai budaya, mungkin perlu adanya suatu badan yang mengkoordinasi upaya
pelestari sastra Jawa, dimana kegiatan-kegiatannya dapat menarik minat para
pemuda-pemudi bangsa.
Geen opmerkings nie:
Plaas 'n opmerking