Sondag 31 Maart 2013

Sastra Jawa Modern



Sastra jawa modern

Jika ada sebuah pertanyaan diajukan kepadaku,”Apa yang membuatmu bangga menjadi warga negara Indonesia?” Aku akan menjawab bahwa banyak hal yang membuatku bangga dan mencintai tanah airku. Tanah airku amat kaya. Kaya akan hasil bumi, kaya akan tempat-tempat yang berparonama indah, dan kaya akan budaya. Indonesia patut mempunyai gelar sebagai the colourful culture country karena Indonesia memiliki budaya yang majemuk. Majemuk dalam hal bahasa, tata cara pernikahan, pakaian adat, tarian, cerita rakyat, rumah adat, tata cara pemakaman, dan masih banyak lagi yang lain.
Dalam suatu daerah yang berdekatan, hanya karena berbeda struktur geografisnya, juga memiliki budaya yang tidak seragam, walaupun tipis perbedaannya, misal adalah Blitar dan Malang. Keduanya berada di propinsi Jawa Timur, kebanyakkan penduduknya adalah suku Jawa, namun dialeknya berbeda. Dialek Malang sedikit lebih kasar daripada Blitar. Orang Blitar suka berkata “piye” untuk menanyakan suatu kondisi, sedangkan orang Malang akan berkata “ya’opo”. Kalau kita mengkaji lebih dalam akan perbedaan kedua kota tersebut, kita akan terkejut akan hasil yang kita temukan. Ternyata cukup banyak perbedaan budaya penduduk Malang dan penduduk Blitar.
Kemajemukan budaya juga terjadi di keluargaku. Ayahku berasal dari Indramayu, sebuah kota di Jawa Barat. Secara turun temurun beliau memiliki garis keturunan Sunda. Ibu berasal dari Malang dan berdarah Jawa murni. Perbedaan budaya tersebut memberi keuntungan lebih padaku. Aku jadi mengenal kebudayaan Sunda sekaligus berkebudayaan Jawa. Dalam keseharian, aku sering menjumpai penerapan kedua kebudayaan tersebut. Ibu sering memasak lalapan, pepes, dan masakan khas Sunda lainnya. Ayah sering memutar kaset Jaipong pada waktu aku kecil. Di rumah, karena aku tinggal di Malang, aku lebih sering berbahasa Jawa, sedangkan bila saudara ayah tiba atau aku pergi ke Indramayu, sedikit-sedikit aku belajar bahasa mereka. Bahasa mereka juga halus seperti Jawa krama, namun dialeknya berbeda. Mereka lebih banyak menggunakan huruf vokal ‘a’ daripada ‘o’.
Ayahku seorang pemerhati kesenian, wawasan Beliau akan kesenian cukup luas. Sejak aku kecil, ayah sering bercerita tentang cerita-certa rakyat, terutama cerita Panji. Ibu juga seorang penggemar sastra Jawa, dia berlangganan ‘Panjebar Semangat’, sebuah majalah berbahasa Jawa, dan dia mahir membaca tulisan Jawa ‘hanacaraka’.
Berbicara tentang sastra jawa, ternyata sastra Jawa tumbuh melalui beberapa fase, dari Jawa kuno, Jawa menengah, hingga Jawa modern. Wujudnya juga beraneka ragam, di antaranya berupa naskah filsafat dan keagamaan yang berbentuk prosa dan kakawin yang berbentuk puisi. Tidak mudah untuk memahami karya sastra Jawa kuno dan Jawa menengah. Itu memerlukan studi khusus karena berupa naskah kuno.
Cabang ilmu yang khusus tersebut adalah filologi. Menurut buku berjudul Kalangwan, karya Prof. Dr. P.J. Zoetmulder, filologi Jawa kuno selama ini masih tetap terbentur pada kekurangan pengetahuan kita tentang bahasa dan latar belakang sosial kulturalnya, sehingga banyak kata susah dipahami. Lewat karya-karya seni inilah, para nenek moyang suku Jawa mengungkapkan ide-ide religius beserta pandangan mereka mengenai manusia dan semesta alam.
Dahulu, seni menulis puisi di Jawa disebut kalangwan atau kalangon, yang jika diartikan ke bahasa Indonesia berarti ‘keindahan’. Dinamakan keindahan karena dengan menciptakan dan menikmati karya-karya sastra, orang akan terhanyut akan pesona untaian kata-kata, jiwa seakan melayang ke luar dari dalam dirinya (ekstasis – ‘lango’).
Pengetahuan kita mengenai sejarah Jawa kuno terutama berdasarkan piagam-piagam dan prasasti-prasasti lama, yang ditulis di atas batu atau lempeng-lempeng dari perunggu. Tanggal yang tercantum di tulisan tersebut merupakan rangkaian kata yang mengungkapkan gejala-gejala astronomis, misalnya prasasti Sukabumi:”Pada tahun 726 penanggalan Saka, dalam bulan Caitra, pada hari kesebelas paro terang, pada hari haryang(hari kedua dalam minggu yang memiliki jumlah hari enam), wage(hari keempat dalam minggu yang memiliki jumlah hari lima), saniscara(hari keempat dalam minggu yang memiliki jumlah hari tujuh) …” dan seterusnya.
Dalam prasasti-prasasti berikutnya, sistem penyebutan tanggal disempurnakan lagi, sehingga juga menyebut tinggi bulan, sebuah planet tertentu, dan konstelasi maupun konjunksi dua bintang.
Prasasti Sukabumi dibuat pada tanggal 25 Maret 804 Masehi dan merupakan prasasti tertua yang menggunakan bahasa Jawa kuno yang ditemukan sampai saat ini. Maka dari itu, tanggal tersebut merupakan tonggak yang mengawali sejarah bahasa Jawa kuno. Sejak saat itu bahasa Jawa kuno dipakai dalam kebanyakkan dokumen resmi.
Bahasa Jawa kuno termasuk rumpun bahasa yang dikenal sebagai bahasa-bahasa Nusantara dan merupakan sub-bagian dari kelompok linguistik Austronesia. Di antara bahasa-bahasa Nusantara yang berjumlah sekitar 250 macam, bahasa Jawa menduduki tempat istimewa karena karya-karya sastranya berasal dari abad ke-9 dan ke-10.
Ada dua sifat yang nampak dalam bahasa Jawa kuno, yaitu adanya kata-kata yang berasal dari bahasa Sansekerta, bahasa yang secara linguistik termasuk suatu rumpun bahasa yang lain sama sekali. Sifat kedua, walaupun pengaruh Sansekerta cukup besar, dalam segala susunan dan ciri-ciri pokok, bahasa Jawa kuno tetap merupakan suatu bahasa Nusantara.
Dalam buku Sanskrit in Indonesia, J Gonda membahas pengaruh bahasa Sansekerta terhadap bahasa-bahasa nusantara. Dalam sebuah tinjauan umum dia mencatat: “Secara linguistik pengaruh India terhadap daerah-daerah Indonesia yang mengalami proses Hinduisasi tidak mengakibatkan semacam pembauran antara bahasa India sehari-hari dan salah satu idiom bahasa Nusantara, melainkan suatu bahasa Nusantara yang diperkaya dengan penambahan dan pencampuran kata-kata Sansekerta serta sejumlah kecil kata-kata Indo-Arya yang lebih muda.” Selanjutnya, menurut Gonda, puisi bahasa Jawa yang disusun dalam bentuk kakawin mengandung sekitar 25% sampai 30% kesatuan kata yang berasal dari bahasa Sansekerta.
Walaupun persentase bahasa Sansekerta cukup besar dalam bahasa Jawa kuno, namun melalui penelitian tidak dapat dibuktikan bahwa ini disebabkan adanya hubungan perdagangan India-Indonesia dan penyebaran agama Hindu di Jawa. Bahasa Sansekerta bukan bahasa sehari-hari, namun merupakan bahasa ilmu sastra, bahasa sastra keagamaan Hindu, dan bahasa yang dipakai dalam lapisan atas, khususnya istana.
Memakai kata-kata Sansekerta pada saat itu merupakan suatu mode, untuk menaikkan status atau gengsi karena Sansekerta dianggap berasal dari kebudayaan yang lebih tinggi. Alasan lain yang mendorong para pengarang memasukkan kata-kata Sansekerta khususnya dalam puisi ialah keinginan mereka untuk memperkaya kosakata juga untuk mematuhi kaidah-kaidah dalam puisi. Kaidah-kaidah itu seperti metrum dan naik turunnya suara.
Pada waktu dokumen-dokuemen itu ditulis, yaitu pada abad ke-9, pusat kekuasan politis dan kehidupan kebudayaan terdapat di Jawa Tengah. Sekitar tahun 930 Masehi, pusat itu bergeser ke arah timur dan sejarah Jawa Tengah berabad-abad lamanya tidak dapat diketahui karena tidak ada karya seni atau karya arsitektur yang dapat menceritakan kondisi pada waktu itu.
Jawa kuno mewujudkan kebudayaan Hindu-Jawa, Ketika pada akhir abad ke-17 Kerajaan Blambangan musnah dan kekuasaan Jawa dipegang oleh kekuasaan Islam, maka tamatlah sastra Jawa kuno. Kondisi-kondisi agar sastra Jawa kuno dapat bertahan dan melangsungkan eksistensinya sebagai peninggalan dari masa silam telah lenyap. Ini disebabkan karena lenyapnya keraton-keraton, baik sentral maupun regional, dimana karya sastra dipelihara dan terus-menerus diperbaharui oleh para juru tulis. Selain itu disebabkan banyaknya karya sastra yang musnah pada saat pergantian kekuasaan Hindu ke Islam.
Pada masa pancaroba itu hanya sedikit karya sastra yang dapat bertahan, di antaranya Ramayana dan Arjunawiwaha. Kemudian, pada akhir abad ke-18 di kalangan kraton Surakarta terjadi suatu gerakan satra yang menghasilkan berbagai karya sastra seni yang bermutu. Namun di Jawa, perhatian terhadap sastra Jawa kuno telah surut. Pusat-pusat yang dahulu memancarkan gairah bagi aktivitas kesusastraan telah tiada. Kita patut berterima kasih kepada Majapahit. Kerajaan ini mengekspansi Bali dan karya sastra Jawa kuno juga banyak tersebar di pulau ini. Di Bali, keraton-keraton tetap menjada warisan kebudayaan Hindu-Jawa dan brahmana tetap memperhatikan serta mempelajari tulisan-tulisan keagamaan kuno itu.
Sastra-sastra yang termasuk sastra Jawa kuno dalam perkembangannya mengalami banyak perubahan. Ada kata-kata yang tidak dipakai, banyak kata-kata baru, perubahan semantis juga terjadi. Ini dapat kita amati setelah membanding-bandingkan berbagai karya sastra. Namun bila kita membandingkan karya pada akhir abad ke-11, Arjunawiwaha, dengan karya pada akhir abad ke-15, Siwaratrikalpa(Lubdhaka), ternyata sedikit sekali perbedaan dalam fonetika dan gramatikal. Hanya karena Arjunawiwaha ditulis lebih dahulu da Lubdhaka ditulis kemudian, maka karya kedua itu disebut karya Jawa pertengahan. Istilah tersebut seolah-olah menggambarkan bahwa Jawa pertengahan merupakan bentuk bahasa pada akhir jaman Hindu-Jawa dan suatu tahap peralihan antara Jawa kuno yang sering kita jumpai dalam kakawin klasik dan bahasa Jawa modern pada abad-abad kemudian.
Pada sastra Jawa kuno – dalam arti luas – ada dua macam puisi, yaitu kakawin dan kidung. Kakawin menggunakan metrum-metrum dari India, sedangkan kidung menggunakan metrum-metrum asli Jawa. Dalam bahasanya pun terdapat perbedaan. Kakawin menggunakan bahasa Jawa kuno dalam arti sebenarnya, sedangkan kidung menggunakan bahasa Jawa pertengahan. Namun, kalimat tersebut tidak dapat dibalik, seolah-olah Jawa kuno merupakan bahasa yang dipakai dalam kakawin dan Jawa pertengahan ialah bahasa yang dipakai dalam kidung
Perioderisasi Jawa kuno dan Jawa pertengahan masih merupakan bahan menarik untuk dikaji. Kakawin walaupun digolongkan ke dalam sastra Jawa kuno ternyata dapat bertahan hingga seribu tahun, karena adanya kaidah yang ketat dalam penulisannya. Kakawin ditulis dalam sustu bentuk sastra Jawa kuno yang khusus, dan setiap orang yang menulis sebuah syair sejenis itu berkewajiban untuk meniru bahasa tradisional, walaupun bahasa itu dalam perputaran waktu telah manjadi bahasa yang mati. Di Bali, setelah Majapahit runtuh, juga masih ditulis, sehingga tradisi lokal di Bali menganggap beberapa kakawin sebagai hasil penulisan pada abad ke-19. Ini menyebabkan kita tidak dapat menyimpulkan bahwa sastra kakawin mencerminkan bahasa jamannya. Ini juga dialami oleh sastra Jawa pertengahan. Pada kidung tidak dapat ditentukan tanggal penulisan. Kebiasaan penulis kakawin yang menyebut nama raja serta tanggal kejadian, tidak ditemui di kidung.
Sedikit sebagai patokan dalam perioderisasi sastra Jawa, kebanyakkan kidung ditulis di Bali. Berdasarkan karya-karya yang kita miliki, semua karya sastra Jawa pertengahan berasal dari Bali, tetapi tidak berarti bahwa karya ini tidak dikenal di Jawa sebelum runtuhnya Majapahit.
Istilah Jawa kuno, Jawa pertengahan, dan Jawa modern jika ditilik dari linguistik benar-benar membingungkan. Seolah-olah perioderisasi ini dibuat hanya berdasarkan masa atau kejadian tertentu. Istilah Jawa modern biasanya dipakai untuk menunjukkan bahasa yang dipakai dalam sastra Jawa padaawal abad ke-19.
Menurut sebuah teori, perioderisasi sastra tersebut berdasarkan rangkaian-rangkaian peristiwa. Hingga masa kekuasaan Majapahit, selain bahasa Jawa kuno yang digunakan menulis kakawin, jugaada bahasa Jawa lain, yang juga digunakan untuk menulis karya sastra lain. Setelah muncul kekuasaan Islam, bahasa Jawa lain itu pecah menjadi dua, yaitu bahasa Jawa yang dipergunakan di Bali dan disebut Jawa pertengahan, dan bahasa yang digunakan masyarakat Islam selanjutnya yang disebut Jawa modern. Memang teori ini masih memiliki kelemahan-kelemahan, namun secara rasional dapat diterima.
Dahulu, sastrawan Jawa menulis karyanya di lempengan batu dan prasasti, namun ada juga yang menggunakan daun lontar. Lontar tersebut diproses hingga menjadi kaku dan siap ditulisi. Jika berupa cerita, biasanya lontar tersebut dipotong-potong berukuran panjang 40-60 cm dan 3-5 cm untuk lebarnya. Bagian ujung dilubangi sehingga dapat dibendel kemudian diberi cover dari bahan yang lebih tebal. Sayangnya daun lontar tidak dapat bertahan lama. Kerusakan umumnya disebabkan karena serangga. Jarang ada daun lontar yang sanggup bertahan berabad-abad, Indonesia hanya memiliki daun lontar yang berumur 1-1.5 abad. Koleksi karya sastra kuno tersebut ada di tiga tempat, yaitu: Perpustakaan nasional di Jakarta, perpustakaan Universitas negeri Liden, Belanda, dan perpustakaan Kirtya di Singaraja. Koleksi terbanyak ada di Leiden. Ini tidak mengherankan karena pada saat itu pemerhati budaya Jawa banyak berasal dari Belanda.
Karya-karya sastra Jawa turut andil dalam perkembangan sastra Nusantara, karya-karya pujangga besar seperti Negarakertagama yang ditulis oleh Mpu Prapanca, Arjunawiwaha-Mpu Kanwa, Sutasoma, Ramayana, Desawarnana, Porusadasanta, Kidung Sunda, dan masih banyak lagi yang lain. Adanya karya-karya sastra tersebut hingga sekarang juga karena jasa juru salin, yang mengawetkan karya sastra tersebut dari tahun ke tahun. Kemungkinan kesalahan tulis dapat terjadi. Bisa dikarenakan kekurangtelitian atau kemiripan huruf, kesalahan itu dapat terjadi.
Karya-karya sastra tersebut merupakan salah satu kekayaan bangsa kita, dimana kita dapat mengetahui suatu sejarah dan pemikiran nenek moyang kita. Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa penelitian di bidang ini masih terbuka luas. Masih banyak hal-hal yang tidak kita ketahui, misal perdebatan akan perioderisasi sastra Jawa, dan masih banyaknya karya yang sulit dibaca. Perlu adanya tekad dan usaha kita sebagai bangsa yang mencintai budaya untuk tetap melestarikan karya-karya langka ini. Memang upaya ini tidak bisa dipaksakan ke generasi muda mengingat banyaknya hal-hal yang mungkin lebih menarik minat mereka. Namun pasti di antara mereka masih banyak yang sadar dan mencintai budaya, mungkin perlu adanya suatu badan yang mengkoordinasi upaya pelestari sastra Jawa, dimana kegiatan-kegiatannya dapat menarik minat para pemuda-pemudi bangsa.

Geen opmerkings nie:

Plaas 'n opmerking