Dialek kebahasaan di
Jombang sesungguhnya adalah sebuah fenomena yang menarik untuk dicermati, namun
sayangnya fenomena ini kurang disadari. Pelaku budaya di
Jombang sendiri tidak menempatkan dialek bahasa sebagai salah satu garapannya,
kebanyakan mereka masih cenderung memperhatikan seni ludruk, besutan, remo,
jaran kepang, hadrah dan produk-produk budaya lain yang sudah lazim.
Padahal kalau
ditelisik lebih jauh, dialek bahasa nJombang-an merupakan khazanah kekayaan
budaya tersendiri. Sebab bahasa sejatinya adalah merupakan puncak dari gunung
es kebudayaan. Dalam artian terdapat pijakan budaya yang cukup komplek yang
melahirkan sebuah bahasa. Dan menariknya, di Jombang kita akan temukan puluhan
dialek bahasa (baca;bahasa Jawa) yang digunakan oleh masyarakat dalam kehidupan
sehari-hari. Jumlah pastinya, minimal sejumlah kecamatan yang terdapat di
Jombang, dan jumlah maksimalnya hampir sejumlah desa yang ada di Jombang.
Mengapa bisa
demikian? Karena kita akan temukan bahwa bahasa Jawa diucapkan dengan cara yang
berbeda-beda di Jombang. Perbedaan pengucapan tersebut setidaknya dalam dua
hal, pada logatnya dan pada kosa kata yang digunakannya. Perbedaan logat ini
akan tampak pada ‘masyarakat asli’ sebuah desa. Masyarakat asli dalam
pengertian, masyarakat yang jarang berinteraksi dengan masyarakat desa lain.
Atau dengan kata lain, masyarakat yang interaksinya lebih sering dengan sesama
warga desanya sendiri.
Pada dua desa yang
bertetangga, perbedaan tersebut mungkin tidak sebegitu menonjol, tetapi dengan
desa yang
berada di lain kecamatan perbedaan pengucapan sudah mulai ditemukan. Perbedaan
tersebut dimulai dari perbedaan pengucapan kosa kata. Misalnya, di kecamatan
Jombang orang akan mengucapkan tak
golék’i, untuk mengatakan ‘saya cari’, tapi di
kecamatan Jogoroto –yang notabene bersebelahan- orang akan mengucapkannya
dengan tak dolé’i. Selisih
pengucapan antara ‘g’ dan ‘d’ ini ternyata tidak hanya terjadi pada kata di
atas, namun juga pada beberapa kata yang lain, seperti: gok/ndok(di), nggilok/ndélok (lihat), gorong/durung (belum),
dan lain sebagainnya.
Contoh yang lain, di
kecamatan Jombang kita tidak akan temukan orang yang mengucapkan kata kaduan (harus)
sebagaimana diucapkan di beberapa desa di kecamatan Diwek, yang ada adalah
diucapkan dengan kata kudu. Biasanya
pengucapan kata kudu ini
intonasinya berfariatif, semakin tinggi intonasinya maka sesuatu yang dimaksud
pun semakin mendesak untuk dilakukan. Sedangkan kaduanintonasinya
biasanya datar-datar saja, namun lebih sering diucapkan. Bila diinventarisir
lebih lanjut, perbedaan-perbedaan tersebut semakin banyak kita temukan.
Misalnya, di daerah Ploso dan sekitarnya kita akan temukan kata ték (bila/kalau),
sedangkan di daerah lain kata tersebut diucapkan dengan lék.
Begitu juga dengan orang Mojoagung yang biasa memakai kata gèméi (beri), dan dimèk ((di)dahulukan),
sedangkan di daerah lain dua kata tersebut diucapkan dengan wèi dan disék. Di
Perak orang biasa mengucapkan kata cipa’
è (bekas), sedang di daerah lain kata tersebut
diucapkan dengan ica’è atau cipété.
Pada tataran selanjutnya, perbedaan tersebut bukan
hanya pada pengucapan kata, namun sudah pada perbedaan kosa kata. Ini biasanya
terjadi pada wilayah-wilayah geografis yang berjauhan -untuk menghindari
menggunakan kata terpencil-. Semisal di Sumobito dan sebagian Mojoagung,
masyarakatnya terbiasa mengucapkan kata gak tayo sebagai
bagian dari dialek mereka. Orang yang tidak pernah bersentuhan dengan
masyarakat pengguna kata ini, mungkin akan merasa asing mendengar kata
tersebut. Padahal kalau mengerti artinya, kata tersebut kurang lebih semakna
dengan kata gak maén.
Masih di Sumobito,
lebih masuk lagi ke arah utara kita akan temukan ungkapan riko untuk
menyebut ‘kamu’. Sebuah kata yang selama ini mungkin hanya kita temukan pada
pertunjukan ludruk, ternyata di daerah tersebut menjadi perbendaharaan kata
sehari-hari. Sementara itu di Jombang sebelah utara, Ploso, Kabuh dan
sekitarnya kita akan temukan penggunaan kata cah.
Kata ini lebih dekat maknanya dengan kata yang sama yang digunakan masyarakat
Lamongan. Bukan kata cah/bocah yang
digunakan di wilayah Matraman (Kediri, Tulungagung, Nganjuk, dll). Contoh
penggunaan kata tersebut pada kalimat berikut ‘cuuah.., aku gak lapo-lapo kok
diarani’, atau ‘cah..cah, ngunu aé kok murèng-murèng’.
Penyebab
Apa
gerangan sehingga menyebabkan perbedaan-perbedaan tersebut terjadi? Adalah
pertanyaan yang menggelitik dan mendesak untuk segera dicarikan jawabannya.
Menurut pembacaan penulis, hal tersebut tidak terlepas dari kondisi geografis
Jombang yang notabene wilayah agraris. Perbedaan logat biasanya akan terjadi
pada desa-desa yang dipisahkan oleh hamparan sawah yang luas, sehingga
menyebabkan komunikasi antar desa menjadi terhambat. Hal inilah yang
menyebabkan masing-masing desa secara natural membangun keunikan logatnya
sendiri-sendiri.
Keunikan
logat yang sudah terbangun tersebut dikemudian hari tidak lekang oleh waktu,
meskipun komunikasi dan transportasi antar desa sudah tidak menjadi masalah
lagi. Malah sebaliknya, keunikan logat tersebut menjadi identitas primitif dari
kultur yang terbentuk secara turun temurun, serta menjadi identitas yang sudah
mendarah daging.
Selain
itu daerah-daerah perbatasan juga mempunyai problematika tersendiri. Daerah-daerah
ini umumnya mempunyai logat sekaligus perbendaharaan kosa kata yang tidak
dimiliki di daerah pusat kota. Daerah yang berbatasan dengan Mojokerto
misalkan, mempunyai logat yang mirip dengan logat Mojokerto, begitu juga daerah
yang berbatasan dengan Lomongan, Nganjuk, dan Kediri.
Budaya di Balik
Bahasa
Berdasarkan dari
pembacaan tersebut, maka asumsi yang menganggap bahwa Jombang mempunyai satu
logat yang sama tidak bisa dibenarkan, meskipun kita juga tidak bisa menganggap
bahwa dialek-dialek yang digunakan di masing-masing daerah sama sekali tidak
sama.
Namun yang terpenting
dan perlu disadari adalah bahwa terdapat keanekaragaman kultur yang banyak di
Jombang, di mana hal tersebut di simbolkan dengan banyaknya dialek yang
berbeda-beda tersebut. Sebab sebagaimana yang terjadi di Indonesia, kelompok
yang berbahasa Jawa tentunya mempunyai budaya yang berbeda dengan kelompok
masyarakat yang menggunakan bahasa Sunda, bahasa Bali, bahasa Melayu, dan lain
sebagainya. Begitu juga yang terjadi di Jombang, dialek-dialek yang
berbeda-beda membawa budaya sendiri-sendiri.
Ketika keanekaragaman tersebut sudah disadari, maka
tinggal langkah penyikapannya. Setidaknya keanekaragaman budaya yang ada di
balik dialek-dialek bahasa yang berbeda-beda tersebut bisa ditempatkan sebagai
salah satu khazanah kebudayaan lokal yang tidak boleh dikesampingkan
keberadaannya.
Geen opmerkings nie:
Plaas 'n opmerking