Maandag 01 April 2013

Sajak W.S Rendra


SAJAK KENALAN LAMAMU
Oleh : 
W.S. Rendra
Kini kita saling berpandangan saudara. 
Ragu-ragu apa pula,
 
kita memang pernah berjumpa.
 
Sambil berdiri di ambang pintu kereta api,
 
tergencet oleh penumpang berjubel,
 
Dari Yogya ke Jakarta,
 
aku melihat kamu tidur di kolong bangku,
dengan alas kertas koran, 
sambil memeluk satu anakmu,
 
sementara istrimu meneteki bayinya,
 
terbaring di sebelahmu.
 
Pernah pula kita satu truk,
 
duduk di atas kobis-kobis berbau sampah,
 
sambil meremasi tetek tengkulak sayur,
 
dan lalu sama-sama kaget,
 
ketika truk tiba-tiba terhenti
 
kerna distop oleh polisi,
 
yang menarik pungutan tidak resmi.
 
Ya, saudara, kita sudah sering berjumpa,
 
kerna sama-sama anak jalan raya.
 
……………………………
Hidup macam apa ini ! 
Orang-orang dipindah kesana ke mari.
 
Bukan dari tujuan ke tujuan.
 
Tapi dari keadaan ke keadaan yang tanpa perubahan.
 
…………………….
Kini kita bersandingan, saudara. 
Kamu kenal bau bajuku.
 
Jangan kamu ragu-ragu,
 
kita memang pernah bertemu.
 
Waktu itu hujan rinai.
 
Aku menarik sehelai plastik dari tong sampah
 
tepat pada waktu kamu juga menariknya.
 
Kita saling berpandangan.
 
Kamu menggendong anak kecil di punggungmu.
 
Aku membuka mulut,
 
hendak berkata sesuatu……
 
Tak sempat !
 
Lebih dulu tinjumu melayang ke daguku…..
 
Dalam pandangan mata berkunang-kunang,
 
aku melihat kamu
 
membawa helaian plastik itu
 
ke satu gubuk karton.
 
Kamu lapiskan ke atap gubugmu,
 
dan lalu kamu masuk dengan anakmu…..
 
Sebungkus nasi yang dicuri,
 
itulah santapan.
 
Kolong kios buku di terminal
 
itulah peraduan.
 
Ya, saudara-saudara, kita sama-sama kenal ini,
 
karena kita anak jadah bangsa yang mulia.
 
………………….
Hidup macam apa hidup ini. 
Di taman yang gelap orang menjual badan,
 
agar mulutnya tersumpal makan.
 
Di hotel yang mewah istri guru menjual badan
 
agar pantatnya diganjal sedan.
 
……………..
 
Duabelas pasang payudara gemerlapan,
 
bertatahkan intan permata di sekitar putingnya.
 
Dan di bawah semuanya,
 
celana dalam sutera warna kesumba.
 
Ya, saudara,
 
Kita sama-sama tertawa mengenang ini semua.
 
Ragu-ragu apa pula
 
kita memang pernah berjumpa.
 
Kita telah menyaksikan,
 
betapa para pembesar
 
menjilati selangkang wanita,
 
sambil kepalanya diguyur anggur.
 
Ya, kita sama-sama germo,
 
yang menjahitkan jas di Singapura
 
mencat rambut di pangkuan bintang film,
 
main golf, main mahyong,
 
dan makan kepiting saus tiram di restoran terhormat.
 
………..
 
Hidup dalam khayalan,
 
hidup dalam kenyataan……
 
tak ada bedanya.
 
Kerna khayalan dinyatakan,
 
dan kenyataan dikhayalkan,
 
di dalam peradaban fatamorgana.
 
……….
Ayo, jangan lagi sangsi, 
kamu kenal suara batukku.
 
Kamu lihat lagi gayaku meludah di trotoar.
 
Ya, memang aku. Temanmu dulu.
 
Kita telah sama-sama mencuri mobil ayahmu
 
bergiliran meniduri gula-gulanya,
 
dan mengintip ibumu main serong
 
dengan ajudan ayahmu.
 
Kita telah sama-sama beli morphin dari guru kita.
 
Menenggak valium yang disediakan oleh dokter untuk ibumu,
 
dan akhirnya menggeletak di emper tiko,
 
di samping kere di Malioboro.
 
Kita alami semua ini,
 
kerna kita putra-putra dewa di dalam masyarakat kita.
 
…..
Hidup melayang-layang. 
Selangit,
 
melayang-layang.
 
Kekuasaan mendukung kita serupa ganja…..
 
meninggi…. Ke awan……
 
Peraturan dan hukuman,
 
kitalah yang empunya.
 
Kita tulis dengan keringat di ketiak,
 
di atas sol sepatu kita.
 
Kitalah gelandangan kaya,
 
yang perlu meyakinkan diri
 
dengan pembunuhan.
 
………..
 
Saudara-saudara, kita sekarang berjabatan.
 
Kini kita bertemu lagi.
 
Ya, jangan kamu ragu-ragu,
 
kita memang pernah bertemu.
 
Bukankah tadi telah kamu kenal
 
betapa derap langkahku ?
Kita dulu pernah menyetop lalu lintas, 
membakari mobil-mobil,
 
melambaikan poster-poster,
 
dan berderap maju, berdemonstrasi.
 
Kita telah sama-sama merancang strategi
 
di panti pijit dan restoran.
 
Dengan arloji emas,
 
secara teliti kita susun jadwal waktu.
 
Bergadang, berunding di larut kelam,
 
sambil mendekap
 hostess di kelab malam. 
Kerna begitulah gaya pemuda harapan bangsa.
Politik adalah cara merampok dunia. 
Politk adalah cara menggulingkan kekuasaan,
 
untuk menikmati giliran berkuasa.
 
Politik adalah tangga naiknya tingkat kehidupan.
 
dari becak ke taksi, dari taksi ke sedan pribadi
 
lalu ke mobil sport, lalu : helikopter !
 
Politik adalah festival dan pekan olah raga.
 
Politik adalah wadah kegiatan kesenian.
 
Dan bila ada orang banyak bacot,
 
kita cap ia sok pahlawan.
 
………………………..
Dimanakah kunang-kunag di malam hari ? 
Dimanakah trompah kayu di muka pintu ?
 
Di hari-hari yang berat,
 
aku cari kacamataku,
 
dan tidak ketemu.
 
………………
Ya, inilah aku ini ! 
Jangan lagi sangsi !
 
Inilah bau ketiakku.
 
Inilah suara batukku.
 
Kamu telah menjamahku,
 
jangan lagi kamu ragau.
Kita telah sama-sama berdiri di sini, 
melihat bianglala berubah menjadi lidah-lidah api,
 
gunung yang kelabu membara,
 
kapal terbang pribadi di antara mega-mega meneteskan air mani
 
di putar
 blue-film di dalamnya. 
…………………
Kekayaan melimpah. 
Kemiskinan melimpah.
 
Darah melimpah.
 
Ludah menyembur dan melimpah.
 
Waktu melanda dan melimpah.
 
Lalu muncullah banjir suara.
 
Suara-suara di kolong meja.
 
Suara-suara di dalam lacu.
 
Suara-suara di dalam pici.
 
Dan akhirnya
 
dunia terbakar oleh tatawarna,
 
Warna-warna nilon dan plastik.
 
Warna-warna seribu warna.
 
Tidak luntur semuanya.
 
Ya, kita telah sama-sama menjadi saksi
 
dari suatu kejadian,
 
yang kita tidak tahu apa-apa,
 
namun lahir dari perbuatan kita.
Yogyakarta, 21 Juni 1977 
Potret Pembangunan dalam Puisi


SAJAK MATAHARI
Oleh : 
W.S. Rendra
Matahari bangkit dari sanubariku. 
Menyentuh permukaan samodra raya.
 
Matahari keluar dari mulutku,
 
menjadi pelangi di cakrawala.
Wajahmu keluar dari jidatku, 
wahai kamu, wanita miskin !
 
kakimu terbenam di dalam lumpur.
 
Kamu harapkan beras seperempat gantang,
 
dan di tengah sawah tuan tanah menanammu !
Satu juta lelaki gundul 
keluar dari hutan belantara,
 
tubuh mereka terbalut lumpur
 
dan kepala mereka berkilatan
 
memantulkan cahaya matahari.
 
Mata mereka menyala
 
tubuh mereka menjadi bara
 
dan mereka membakar dunia.
Matahri adalah cakra jingga 
yang dilepas tangan Sang Krishna.
 
Ia menjadi rahmat dan kutukanmu,
 
ya, umat manusia !
Yogya, 5 Maret 1976 
Potret Pembangunan dalam Puisi


SAJAK MATA-MATA
Oleh : 
W.S. Rendra
Ada suara bising di bawah tanah. 
Ada suara gaduh di atas tanah.
 
Ada ucapan-ucapan kacau di antara rumah-rumah.
 
Ada tangis tak menentu di tengah sawah.
 
Dan, lho, ini di belakang saya
 
ada tentara marah-marah.
Apaa saja yang terjadi ? Aku tak tahu.
Aku melihat kilatan-kilatan api berkobar. 
Aku melihat isyarat-isyarat.
 
Semua tidak jelas maknanya.
 
Raut wajah yang sengsara, tak bisa bicara,
 
menggangu pemandanganku.
Apa saja yang terjadi ? Aku tak tahu.
Pendengaran dan penglihatan 
menyesakkan perasaan,
 
membuat keresahan –
 
Ini terjadi karena apa-apa yang terjadi
 
terjadi tanpa kutahu telah terjadi.
 
Aku tak tahu. Kamu tak tahu.
 
Tak ada yang tahu.
Betapa kita akan tahu, 
kalau koran-koran ditekan sensor,
 
dan mimbar-mimbar yang bebas telah dikontrol.
 
Koran-koran adalah penerusan mata kita.
 
Kini sudah diganti mata yang resmi.
 
Kita tidak lagi melihat kenyataan yang beragam.
 
Kita hanya diberi gambara model keadaan
 
yang sudah dijahit oleh penjahit resmi.
Mata rakyat sudah dicabut. 
Rakyat meraba-raba di dalam kasak-kusuk.
 
Mata pemerintah juga diancam bencana.
 
Mata pemerintah memakai kacamata hitam.
 
Terasing di belakang meja kekuasaan.
 
Mata pemerintah yang sejati
 
sudah diganti mata-mata.
Barisan mata-mata mahal biayanya. 
Banyak makannya.
 
Sukar diaturnya.
 
Sedangkan laporannya
 
mirp pandangan mata kuda kereta
 
yang dibatasi tudung mata.
Dalam pandangan yang kabur, 
semua orang marah-marah.
 
Rakyat marah, pemerinta marah,
 
semua marah lantara tidak punya mata.
 
Semua mata sudah disabotir.
 
Mata yangbebas beredar hanyalah mata-mata.
Hospital Rancabadak, Bandung, 28 Januari 1978 
Potret Pembangunan dalam Puisi


SAJAK ORANG KEPANASAN
Oleh :
W.S. Rendra


Karena kami makan akar
dan terigu menumpuk di gudangmu
Karena kami hidup berhimpitan
dan ruangmu berlebihan
maka kami bukan sekutu
Karena kami kucel
dan kamu gemerlapan
Karena kami sumpek
dan kamu mengunci pintu
maka kami mencurigaimu
Karena kami telantar dijalan
dan kamu memiliki semua keteduhan
Karena kami kebanjiran
dan kamu berpesta di kapal pesiar
maka kami tidak menyukaimu
Karena kami dibungkam
dan kamu nyerocos bicara
Karena kami diancam
dan kamu memaksakan kekuasaan
maka kami bilang : TIDAK kepadamu
Karena kami tidak boleh memilih
dan kamu bebas berencana
Karena kami semua bersandal
dan kamu bebas memakai senapan
Karena kami harus sopan
dan kamu punya penjara
maka TIDAK dan TIDAK kepadamu
Karena kami arus kali
dan kamu batu tanpa hati
maka air akan mengikis batu
Suara Merdeka, 
Jumat, 15 Mei 1998

SAJAK PEPERANGAN ABIMANYU
(Untuk puteraku, Isaias Sadewa)
Oleh :
W.S. Rendra
Ketika maut mencegatnya di delapan penjuru. 
Sang ksatria berdiri dengan mata bercahaya.
 
Hatinya damai,
 
di dalam dadanya yang bedah dan berdarah,
 
karena ia telah lunas
 
menjalani kewjiban dan kewajarannya.
Setelah ia wafat 
apakah petani-petani akan tetap menderita,
 
dan para wanita kampung
 
tetap membanjiri rumah pelacuran di kota ?
 
Itulah pertanyaan untuk kita yang hidup.
 
Tetapi bukan itu yang terlintas di kepalanya
 
ketika ia tegak dengan tubuh yang penuh luka-luka.
 
Saat itu ia mendengar
 
nyanyian angin dan air yang turun dari gunung.
Perjuangan adalah satu pelaksanaan cita dan rasa. 
Perjuangan adalah pelunasan kesimpulan penghayatan.
 
Di saat badan berlumur darah,
 
jiwa duduk di atas teratai.
Ketika ibu-ibu meratap 
dan mengurap rambut mereka dengan debu,
 
roh ksatria bersetubuh dengan cakrawala
 
untuk menanam benih
 
agar nanti terlahir para pembela rakyat tertindas
 
– dari zaman ke zaman

Jakarta, 2 Sptember 1977 
Potret Pembangunan dalam Puisi


SAJAK PERTEMUAN MAHASISWA
Oleh : 
W.S. Rendra
Matahari terbit pagi ini 
mencium bau kencing orok di kaki langit,
 
melihat kali coklat menjalar ke lautan,
 
dan mendengar dengung lebah di dalam hutan.
Lalu kini ia dua penggalah tingginya. 
Dan ia menjadi saksi kita berkumpul di sini
 
memeriksa keadaan.
Kita bertanya : 
Kenapa maksud baik tidak selalu berguna.
 
Kenapa maksud baik dan maksud baik bisa berlaga.
 
Orang berkata “ Kami ada maksud baik “
 
Dan kita bertanya : “ Maksud baik untuk siapa ?”
Ya ! Ada yang jaya, ada yang terhina 
Ada yang bersenjata, ada yang terluka.
 
Ada yang duduk, ada yang diduduki.
 
Ada yang berlimpah, ada yang terkuras.
 
Dan kita di sini bertanya :
 
“Maksud baik saudara untuk siapa ?
 
Saudara berdiri di pihak yang mana ?”
Kenapa maksud baik dilakukan 
tetapi makin banyak petani yang kehilangan tanahnya.
 
Tanah-tanah di gunung telah dimiliki orang-orang kota.
 
Perkebunan yang luas
 
hanya menguntungkan segolongan kecil saja.
 
Alat-alat kemajuan yang diimpor
 
tidak cocok untuk petani yang sempit tanahnya.
Tentu kita bertanya : 
“Lantas maksud baik saudara untuk siapa ?”
Sekarang matahari, semakin tinggi. 
Lalu akan bertahta juga di atas puncak kepala.
 
Dan di dalam udara yang panas kita juga bertanya :
 
Kita ini dididik untuk memihak yang mana ?
 
Ilmu-ilmu yang diajarkan di sini
 
akan menjadi alat pembebasan,
 
ataukah alat penindasan ?
Sebentar lagi matahari akan tenggelam. 
Malam akan tiba.
 
Cicak-cicak berbunyi di tembok.
 
Dan rembulan akan berlayar.
 
Tetapi pertanyaan kita tidak akan mereda.
 
Akan hidup di dalam bermimpi.
 
Akan tumbuh di kebon belakang.
Dan esok hari 
matahari akan terbit kembali.
 
Sementara hari baru menjelma.
 
Pertanyaan-pertanyaan kita menjadi hutan.
 
Atau masuk ke sungai
 
menjadi ombak di samodra.
Di bawah matahari ini kita bertanya : 
Ada yang menangis, ada yang mendera.
 
Ada yang habis, ada yang mengikis.
 
Dan maksud baik kita
 
berdiri di pihak yang mana !
Jakarta 1 Desember 1977 
Potret Pembangunan dalam Puisi
Sajak ini dipersembahkan kepada para mahasiswa Universitas Indonesia di Jakarta, dan dibacakan di dalam salah satu adegan film “Yang Muda Yang Bercinta”, yang disutradarai oleh Sumandjaja.


SAJAK POTRET KELUARGA
Oleh : 
W.S. Rendra
Tanggal lima belas tahun rembulan. 
Wajah molek bersolek di angkasa.
 
Kemarau dingin jalan berdebu.
 
Ular yang lewat dipagut naga.
 
Burung tekukur terpisah dari sarangnya.
Kepada rekannya berkatalah suami itu :
“Semuanya akan beres. Pasti beres. 
Mengeluhkan keadaan tak ada gunanya.
 
Kesukaran selalu ada.
 
Itulah namanya kehidupan.
 
Apa yang kita punya sudah lumayan.
 
Asal keluarga sudah terjaga,
 
rumah dan mobil juga ada,
 
apa palgi yang diruwetkan ?
 
Anak-anak dengan tertib aku sekolahkan.
 
Yang putri di SLA, yang putra mahasiswa.
 
Di rumah ada TV, anggrek,
 
air conditioning, dan juga agama. 
Inilah kesejahteraan yang harus dibina.
 
Kita mesti santai.
 
Hanya orang edan sengaja mencari kesukaran.
 
Memprotes keadaaan, tidak membawa perubahan.
 
Salah-salah malah hilang jabatan.”
 
………
Tanggal lima belas tahun rembulan 
Angin kemarau tergantung di blimbing berkembang.
 
Malam disambut suara halus dalam rumputan.
 
Anjing menjenguk keranjang sampah.
 
Kucing berjalan di bubungan atap.
 
Dan ketonggeng menunggu di bawah batu.
Isri itu duduk di muka kaca dan berkata :
“Hari-hari mengalir seperti sungai arak. 
Udara penuh asap candu.
 
Tak ada yang jelas di dalam kehidupan.
 
Peristiwa melayang-layang bagaikan bayangan.
 
Tak ada yang bisa diambil pegangan.
 
Suamiku asyik dengan mobilnya
 
padahal hidupnya penuh utang.
 
Semakin kaya semakin banyak pula utangnya.
 
Uang sekolah anak-anak selalu lambat dibayar.
 
Ya, Tuhan, apa yang terjadi pada anak-anakku.
 
Apakah jaminan pendidikannya ?
 
Ah, Suamiku !
 
Dahulu ketika remaja hidupnya sederhana,
 
pikirannya jelas pula.
 
Tetapi kini serba tidak kebenaran.
 
Setiap barang membuatnya berengsek.
 
Padahal harganya mahal semua.
 
TV Selalu dibongkar.
 
Gambar yang sudah jelas juga masih dibenar-benarkan.
 
Akhirnya tertidur…….
 
Sementara TV-nya membuat kegaduhan.
 
Tak ada lagi yang bisa menghiburnya.
 
Gampang marah soal mobil
 
Gampang pula kambuh bludreknya
 
Makanan dengan cermat dijaga
 
malahan kena sakit gula.
 
Akulah yang selalu kena luapan.
 
Ia marah karena tak berdaya.
 
Ia menyembunyikan kegagalam.
 
Ia hanyut di dalam kemajuan zaman.
 
Tidak gagah. Tidak berdaya melawannya !”
 
…………………………………..
Tanggal lima belas tahun rembulan. 
Tujuh unggas tidur di pohon nangka
 
Sedang di tanah ular mencari mangsa.
 
Berdesir-desir bunyi kali dikejauhan.
 
Di tebing yang landai tidurlah buaya.
 
Di antara batu-batu dua ketam bersenggama.
Sang Putri yang di SLA, berkata :
“Kawinilah aku. Buat aku mengandung. 
Bawalah aku pergi. Jadikanlah aku babu.
 
Aku membenci duniaku ini.
 
Semuanya serba salah, setiap orang gampang marah.
 
Ayah gampang marah lantaran mobil dan TV
 
Ibu gampang marah lantaran tak berani marah kepada ayah.
 
Suasana tegang di dalam rumah
 
meskipun rapi perabotannya.
 
Aku yakin keluargaku mencintaiku.
 
Tetapi semuanya ini untuk apa ?
 
Untuk apa hidup keluargaku ini ?
 
Apakah ayah hidup untuk mobil dan TV ?
 
Apakah ibu hidup karena tak punya pilihan ?
 
Dan aku ? Apa jadinya aku nanti ?
 
Tiga belas tahun aku belajar di sekolah.
 
Tetapi belum juga mampu berdiri sendiri.
 
Untuk apakah kehidupan kami ini ?
 
Untuk makan ? Untuk baca komik ?
 
Untuk apa ?
 
Akhirnya mendorong untuk tidak berbuat apa-apa !
 
Kemacetan mencengkeram hidup kami.
 
Kakasihku, temanilah aku merampok Bank.
 
Pujaanku, suntikkan morpin ini ke urat darah di tetekku “
 
………………………………………
Tanggal lima belas tahun rembulan. 
Atap-atap rumah nampak jelas bentuknya
 
di bawah cahaya bulan.
 
Sumur yang sunyi menonjol di bawah dahan.
 
Akar bambu bercahaya pospor.
 
Keleawar terbang menyambar-nyambar.
 
Seekor kadal menangkap belalang.
Sang Putra, yang mahasiswa, menulis surat dimejanya :
“ Ayah dan ibu yang terhormat, 
aku pergi meninggalkan rumah ini.
 
Cinta kasih cukup aku dapatkan.
 
Tetapi aku menolak cara hidup ayah dan ibu.
 
Ya, aku menolak untuk mendewakan harta.
 
Aku menolak untuk mengejar kemewahan,
 
tetapi kehilangan kesejahteraan.
 
Bahkan kemewahan yang ayah punya
 
tidak juga berarti kemakmuran.
 
Ayah berkata : “santai, santai ! “
 
tetapi sebenarnya ayah hanyut
 
dibawa arus jorok keadaan
 
Ayah hanya punya kelas,
 
tetapi tidak punya kehormatan.
 
Kenapa ayah berhak mendapatkan kemewahan yang sekarang ayah miliki ini?
 
Hasil dari bekerja ? Bekerja apa ?
 
Apakh produksi dan jasa seorang birokrat yang korupsi ?
 
Seorang petani lebih produktip daripada ayah.
 
Seorang buruh lebih punya jasa yang nyata.
 
Ayah hanya bisa membuat peraturan.
 
Ayah hanya bisa tunduk pada atasan.
 
Ayah hanya bisa mendukung peraturan yang memisahkan rakyat dari penguasa.
 
Ayah tidak produktip melainkan destruktip.
 
Namun toh ayah mendapat gaji besar !
 
Apakah ayah pernah memprotes ketidakadilan ?
 
tidak pernah, bukan ?
Terlalu beresiko, bukan ? 
Apakah aku harus mencontoh ayah ?
 
Sikap hidup ayah adalah pendidikan buruk bagi jiwaku.
 
Ayah dan ibu, selamat tinggal.
 
Daya hidupku menolak untuk tidak berdaya. “
Yogya, 10 Juli 1975. 
Potret Pembangunan dalam Puisi


SAJAK PULAU BALI
Oleh : 
W.S. Rendra
Sebab percaya akan keampuhan  industri 
dan yakin bisa memupuk modal nasional
 
dari kesenian dan keindahan alam,
 
maka Bali menjadi obyek pariwisata.
Betapapun : 
tanpa basa-basi keyakinan seperti itu,
 
Bali harus dibuka untuk pariwisata.
 
Sebab :
 
pesawat-pesawat terbang jet sudah dibikin,
 
dan maskapai penerbangan harus berjalan.
 
Harus ada orang-orang untuk diangkut.
 
Harus diciptakan tempat tujuan untuk dijual.
Dan waktu senggang manusia, 
serta masa berlibur untuk keluarga,
 
harus bisa direbut oleh maskapai
 
untuk diindustrikan.
Dan Bali, 
dengan segenap kesenian,
 
kebudayaan, dan alamnya,
 
harus bisa diringkaskan,
 
untuk dibungkus dalam kertas kado,
 
dan disuguhkan pada pelancong.
Pesawat terbang jet di tepi rimba Brazilia, 
di muka perkemahan kaum Badui,
 
di sisi mana pun yang tak terduga,
 
lebih mendadak dari mimpi,
 
merupakan kejutan kebudayaan.
Inilah satu kekuasaan baru. 
Begitu cepat hingga kita terkesiap.
 
Begitu lihai sehingga kita terkesima.
Dan sementara kita bengong, 
pesawat terbang jet yang muncul dari mimipi,
 
membawa bentuk kekuatan modalnya :
 
lapangan terbang. “hotel – bistik – dan – coca cola”,
 
jalan raya, dan para pelancong.
“Oh, look, honey – dear ! 
Lihat orang-orang pribumi itu!
 
Mereka memanjat pohon kelapa seperti kera.
 
Fantastic ! Kita harus memotretnya ! 
…………………………..
Awas ! Jangan dijabat tangannya ! 
senyum saja
 and say hello. 
You see, tangannya kotor 
Siapa tahu ada telor cacing di situ.
 
…………………….
My God, alangkah murninya mereka. 
Ia tidak menutupi teteknya !
 
Look, John, ini benar-benar tetek. 
Lihat yang ini ! O, sempurna !
 
Mereka bebas dan spontan.
 
Aku ingin seperti mereka…..
 
Eh, maksudku…..
 
Okey ! Okey !….Ini hanya pengandaian saja. 
Aku tahu kamu melarang aku tanpa beha.
 
Look, now, John, jangan cemberut ! 
Berdirilah di sampingnya,
 
aku potret di sini.
 
Ah !
 Fabolous !”
Dan Bank Dunia 
selalu tertarik membantu negara miskin
 
untuk membuat proyek raksasa.
 
Artinya : yang 90 % dari bahannya harus diimpor.
Dan kemajuan kita 
adalah kemajuan budak
 
atau kemajuan penyalur dan pemakai.
Maka di Bali 
hotel-hotel pribumi bangkrut
 
digencet oleh
 packaged tour.
Kebudayaan rakyat ternoda 
digencet standar dagang internasional.
Tari-tarian bukan lagi satu mantra, 
tetapi hanya sekedar tontonan hiburan.
 
Pahatan dan ukiran  bukan lagi ungkapan jiwa,
 
tetapi hanya sekedar kerajinan tangan.
Hidup dikuasai kehendak manusia, 
tanpa menyimak jalannya alam.
 
Kekuasaan kemauan manusia,
 
yang dilembagakan dengan kuat,
 
tidak mengacuhkan naluri ginjal,
 
hati, empedu, sungai, dan hutan.
 
Di Bali :
 
pantai, gunung, tempat tidur dan pura,
 
telah dicemarkan
Pejambon, 23 Juni 1977. 
Potret Pembangunan dalam Puisi


SAJAK S L A
Oleh : 
W.S. Rendra
Murid-murid mengobel klentit ibu gurunya 
Bagaimana itu mungkin ?
 
Itu mungkin.
 
Karena tidak ada patokan untuk apa saja.
 
Semua boleh. Semua tidak boleh.
 
Tergantung pada cuaca.
 
Tergantung pada amarah dan girangnya sang raja.
 
Tergantung pada kuku-kuku garuda dalam mengatur kata-kata.
Ibu guru perlu sepeda motor dari Jepang. 
Ibu guru ingin hiburan dan cahaya.
 
Ibu guru ingin atap rumahnya tidak bocor.
 
Dan juga ingin jaminan pil penenang,
 
tonikum-tonikum dan obat perangsang yang dianjurkan oleh dokter.
 
Maka berkatalah ia
 
Kepada orang tua murid-muridnya :
 
“Kita bisa mengubah keadaan.
 
Anak-anak akan lulus ujian kelasnya,
 
terpandang di antara tetangga,
 
boleh dibanggakan pada kakak mereka.
 
Soalnya adalah kerjasama antara kita.
 
Jangan sampai kerjaku terganggu,
 
karna atap bocor.”
Dan papa-papa semua senang. 
Di pegang-pegang tangan ibu guru,
 
dimasukan uang ke dalam genggaman,
 
serta sambil lalu,
 
di dalam suasana persahabatan,
 
teteknya disinggung dengan siku.
Demikianlah murid-murid mengintip semua ini. 
Inilah ajaran tentang perundingan,
 
perdamaian, dan santainya kehidupan.
Ibu guru berkata : 
“Kemajuan akan berjalan dengan lancar.
 
Kita harus menguasai mesin industri.
 
Kita harus maju seperti Jerman,
 
Jepang, Amerika.
 
Sekarang, keluarkanlah daftar logaritma.”
Murid-murid tertawa, 
dan mengeluarkan rokok mereka.
“Karena mengingat kesopanan, 
jangan kalian merokok.
 
Kelas adalah ruangbelajar.
 
Dan sekarang : daftar logaritma !”
Murid-murid tertawa dan berkata : 
“Kami tidak suka daftar logaritma.
 
Tidak ada gunanya !”
“kalian tidak ingin maju ?”
“Kemajuan bukan soal logaritma. 
Kemajuan adalah soal perundingan.”
“Jadi apa yang kaian inginkan ?”
“Kami tidak ingin apa-apa. 
Kami sudah punya semuanya.”
“Kalian mengacau !”
“Kami tidak mengacau. 
Kami tidak berpolitik.
 
Kami merokok dengan santai.
 
Sperti ayah-ayah kami di kantor mereka :
 
santai, tanpa politik
 
berunding dengan Cina
 
berunding dengan Jepang
 
menciptakan suasana girang.
 
Dan di saat ada pemilu,
 
kami membantu keamanan,
 
meredakan partai-partai.”
Murid-murid tertawa. 
Mereka menguasai perundingan.
 
Ahli
 lobbying. 
Faham akan gelagat.
 
Pandai mengikuti keadaan.
 
Mereka duduk di kantin,
 
minum sitrun,
 
menghindari ulangan sejarah.
 
Mereka tertidur di bangku kelas,
 
yang telah mereka bayar sama mahal
 
seperti sewa kamar di hotel.
 
Sekolah adalah pergaulan,
 
yang ditentukan oleh mode,
 
dijiwai oleh impian kemajuan menurut iklan.
 
Dan bila ibu guru berkata :
 
“Keluarkan daftar logaritma !”
 
Murid-murid tertawa.
 
Dan di dalam suasana persahabatan,
 
mereka mengobel ibu guru mereka.
Yogya, 22 Juni 1977. 
Potret Pembangunan dalam Puisi


SAJAK SEBATANG LISONG
Oleh : 
W.S. Rendra
Menghisap sebatang lisong 
melihat Indonesia Raya,
 
mendengar 130 juta rakyat,
 
dan di langit
 
dua tiga cukong mengangkang,
 
berak di atas kepala mereka
Matahari terbit. 
Fajar tiba.
 
Dan aku melihat delapan juta kanak-ka
nak 
tanpa pendidikan.
Aku bertanya, 
tetapi pertanyaan-pertanyaanku
 
membentur meja kekuasaan yang macet,
 
dan papantulis-papantulis para pendidik
 
yang terlepas dari persoalan kehidupan.
Delapan juta kanak-kanak 
menghadapi satu jalan panjang,
 
tanpa pilihan,
 
tanpa pepohonan,
 
tanpa dangau persinggahan,
 
tanpa ada bayangan ujungnya.
 
…………………
Menghisap udara 
yang disemprot deodorant,
 
aku melihat sarjana-sarjana menganggur
 
berpeluh di jalan raya;
 
aku melihat wanita bunting
 
antri uang pensiun.
Dan di langit; 
para tekhnokrat berkata :
bahwa bangsa kita adalah malas, 
bahwa bangsa mesti dibangun;
 
mesti di-
up-grade 
disesuaikan dengan teknologi yang diimpor
Gunung-gunung menjulang. 
Langit pesta warna di dalam senjakala
 
Dan aku melihat
 
protes-protes yang terpendam,
 
terhimpit di bawah tilam.
Aku bertanya, 
tetapi pertanyaanku
 
membentur jidat penyair-penyair salon,
 
yang bersajak tentang anggur dan rembulan,
 
sementara ketidakadilan terjadi di sampingnya
 
dan delapan juta kanak-kanak tanpa pendidikan
 
termangu-mangu di kaki dewi kesenian.
Bunga-bunga bangsa tahun depan 
berkunang-kunang pandang matanya,
 
di bawah iklan berlampu neon,
 
Berjuta-juta harapan ibu dan bapak
 
menjadi gemalau suara yang kacau,
 
menjadi karang di bawah muka samodra.
 
………………
Kita harus berhenti membeli rumus-rumus asing. 
Diktat-diktat hanya boleh memberi metode,
 
tetapi kita sendiri mesti merumuskan keadaan.
 
Kita mesti keluar ke jalan raya,
 
keluar ke desa-desa,
 
mencatat sendiri semua gejala,
 
dan menghayati persoalan yang nyata.
Inilah sajakku 
Pamplet masa darurat.
 
Apakah artinya kesenian,
 
bila terpisah dari derita lingkungan.
 
Apakah artinya berpikir,
 
bila terpisah dari masalah kehidupan.

19 Agustus 1977 
ITB Bandung
 
Potret Pembangunan dalam Puisi
Sajak ini dipersembahkan kepada para mahasiswa Institut Teknologi Bandung, dan dibacakan di dalam salah satu adegan film “Yang Muda Yang Bercinta”, yang disutradarai oleh Sumandjaya.


SAJAK SEBOTOL BIR
Oleh : 
W.S. Rendra
Menenggak bir sebotol, 
menatap dunia,
 
dan melihat orang-orang kelaparan.
 
Membakar dupa,
 
mencium bumi,
 
dan mendengar derap huru-hara.
Hiburan kota besar dalam semalam, 
sama dengan biaya pembangunan sepuluh desa !
 
Peradaban apakah yang kita pertahankan ?
Mengapa kita membangun kota metropolitan ? 
dan alpa terhadap peradaban di desa ?
 
Kenapa pembangunan menjurus kepada penumpukan,
 
dan tidak kepada pengedaran ?
Kota metropolitan di sini tidak tumbuh dari industri, 
Tapi tumbuh dari kebutuhan negara industri asing
 
akan pasaran dan sumber pengadaan bahan alam
 
Kota metropolitan di sini,
 
adalah sarana penumpukan bagi Eropa, Jepang, Cina, Amerika,
 
Australia, dan negara industri lainnya.
Dimanakah jalan lalu lintas yang dulu ? 
Yang neghubungkan desa-desa dengan desa-desa ?
 
Kini telah terlantarkan.
 
Menjadi selokan atau kubangan.
 
Jalanlalu lintas masa kini,
 
mewarisi pola rencana penjajah tempo dulu,
 
adalah alat penyaluran barang-barang asing dari
 
pelabuhan ke kabupaten-kabupaten dan
 
bahan alam dari kabupaten-kabupaten ke pelabuhan.
Jalan lalu lintas yang diciptakan khusus, 
tidak untuk petani,
 
tetapi untuk pedagang perantara dan cukong-cukong.
Kini hanyut di dalam arus peradaban yang tidak kita kuasai. 
Di mana kita hanya mampu berak dan makan,
 
tanpa ada daya untuk menciptakan.
 
Apakah kita akan berhenti saampai di sini ?
Apakah semua negara yang ingin maju harus menjadi negara industri ? 
Apakah kita bermimpi untuk punya pabrik-pabrik
 
yang tidak berhenti-hentinya menghasilkan……..
 
harus senantiasa menghasilkan….
 
Dan akhirnya memaksa negara lain
 
untuk menjadi pasaran barang-barang kita ?
 
…………………………….
Apakah pilihan lain dari industri hanya pariwisata ? 
Apakah pemikiran ekonomi kita
 
hanya menetek pada komunisme dan kapitalisme ?
 
Kenapa lingkungan kita sendiri tidak dikira ?
 
Apakah kita akan hanyut saja
 
di dalam kekuatan penumpukan
 
yang menyebarkan pencemaran dan penggerogosan
 
terhadap alam di luar dan alam di dalam diri manusia ?
 
……………………………….
Kita telah dikuasai satu mimpi 
untuk menjadi orang lain.
 
Kita telah menjadi asing
 
di tanah leluhur sendiri.
 
Orang-orang desa blingsatan, mengejar mimpi,
 
dan menghamba ke Jakarta.
 
Orang-orang Jakarta blingsatan, mengejar mimpi
 
dan menghamba kepada Jepang,
 
Eropa, atau Amerika.
Pejambon, 23 Juni 1977 
Potret Pembangunan dalam Puisi


SAJAK SEONGGOK JAGUNG
Oleh : 
W.S. Rendra
Seonggok jagung di kamar 
dan seorang pemuda
 
yang kurang sekolahan.
Memandang jagung itu, 
sang pemuda melihat ladang;
 
ia melihat petani;
 
ia melihat panen;
 
dan suatu hari subuh,
 
para wanita dengan gendongan
 
pergi ke pasar ………..
 
Dan ia juga melihat
 
suatu pagi hari
 
di dekat sumur
 
gadis-gadis bercanda
 
sambil menumbuk jagung
 
menjadi maisena.
 
Sedang di dalam dapur
 
tungku-tungku menyala.
 
Di dalam udara murni
 
tercium kuwe jagung
Seonggok jagung di kamar 
dan seorang pemuda.
 
Ia siap menggarap jagung
 
Ia melihat kemungkinan
 
otak dan tangan
 
siap bekerja
Tetapi ini :
Seonggok jagung di kamar 
dan seorang pemuda tamat SLA
 
Tak ada uang, tak bisa menjadi mahasiswa.
 
Hanya ada seonggok jagung di kamarnya.
Ia memandang jagung itu 
dan ia melihat dirinya terlunta-lunta .
 
Ia melihat dirinya ditendang dari diskotik.
 
Ia melihat sepasang sepatu kenes di balik etalase.
 
Ia melihat saingannya naik sepeda motor.
 
Ia melihat nomor-nomor lotre.
 
Ia melihat dirinya sendiri miskin dan gagal.
 
Seonggok jagung di kamar
 
tidak menyangkut pada akal,
 
tidak akan menolongnya.
Seonggok jagung di kamar 
tak akan menolong seorang pemuda
 
yang pandangan hidupnya berasal dari buku,
 
dan tidak dari kehidupan.
 
Yang tidak terlatih dalam metode,
 
dan hanya penuh hafalan kesimpulan,
 
yang hanya terlatih sebagai pemakai,
 
tetapi kurang latihan bebas berkarya.
 
Pendidikan telah memisahkannya dari kehidupan.
Aku bertanya : 
Apakah gunanya pendidikan
 
bila hanya akan membuat seseorang menjadi asing
 
di tengah kenyataan persoalannya ?
 
Apakah gunanya pendidikan
 
bila hanya mendorong seseorang
 
menjadi layang-layang di ibukota
 
kikuk pulang ke daerahnya ?
 
Apakah gunanya seseorang
 
belajat filsafat, sastra, teknologi, ilmu kedokteran,
 
atau apa saja,
 
bila pada akhirnya,
 
ketika ia pulang ke daerahnya, lalu berkata :
 
“ Di sini aku merasa asing dan sepi !”
Tim, 12 Juli 1975 
Potret Pembangunan dalam Puisi


SAJAK SEORANG TUA DI BAWAH POHON
Oleh : 
W.S. Rendra
Inilah sajakku, 
seorang tua yang berdiri di bawah pohon meranggas,
 
dengan kedua tangan kugendong di belakang,
 
dan rokok kretek yang padam di mulutku.
Aku memandang zaman. 
Aku melihat gambaran ekonomi
 
di etalase toko yang penuh merk asing,
 
dan jalan-jalan bobrok antar desa
 
yang tidak memungkinkan pergaulan.
 
Aku melihat penggarongan dan pembusukan.
 
Aku meludah di atas tanah.
Aku berdiri di muka kantor polisi. 
Aku melihat wajah berdarah seorang demonstran.
 
Aku melihat kekerasan tanpa undang-undang.
 
Dan sebatang jalan panjang,
 
punuh debu,
 
penuh kucing-kucing liar,
 
penuh anak-anak berkudis,
 
penuh serdadu-serdadu yang jelek dan menakutkan.
Aku berjalan menempuh matahari, 
menyusuri jalan sejarah pembangunan,
 
yang kotor dan penuh penipuan.
 
Aku mendengar orang berkata :
 
“Hak asasi manusia tidak sama dimana-mana.
 
Di sini, demi iklim pembangunan yang baik,
 
kemerdekaan berpolitik harus dibatasi.
 
Mengatasi kemiskinan
 
meminta pengorbanan sedikit hak asasi”
 
Astaga, tahi kerbo apa ini !
Apa disangka kentut bisa mengganti rasa keadilan ? 
Di negeri ini hak asasi dikurangi,
 
justru untuk membela yang mapan dan kaya.
 
Buruh, tani, nelayan, wartawan, dan mahasiswa,
 
dibikin tak berdaya.
O, kepalsuan yang diberhalakan, 
berapa jauh akan bisa kaulawan kenyataan kehidupan.
Aku mendengar bising kendaraan. 
Aku mendengar pengadilan sandiwara.
 
Aku mendengar warta berita.
 
Ada gerilya kota merajalela di Eropa.
 
Seorang cukong bekas kaki tangan fasis,
 
seorang yang gigih, melawan buruh,
 
telah diculik dan dibunuh,
 
oleh golongan orang-orang yang marah.
Aku menatap senjakala di pelabuhan. 
Kakiku ngilu,
 
dan rokok di mulutku padam lagi.
 
Aku melihat darah di langit.
 
Ya ! Ya ! Kekerasan mulai mempesona orang.
 
Yang kuasa serba menekan.
 
Yang marah mulai mengeluarkan senjata.
 
Bajingan dilawan secara bajingan.
 
Ya ! Inilah kini kemungkinan yang mulai menggoda orang.
 
Bila pengadilan tidak menindak bajingan resmi,
 
maka bajingan jalanan yang akan diadili.
 
Lalu apa kata nurani kemanusiaan ?
 
Siapakah yang menciptakan keadaan darurat ini ?
 
Apakah orang harus meneladan tingkah laku bajingan resmi ?
 
Bila tidak, kenapa bajingan resmi tidak ditindak ?
 
Apakah kata nurani kemanusiaan ?
O, Senjakala yang menyala ! 
Singkat tapi menggetarkan hati !
 
Lalu sebentar lagi orang akan mencari bulan dan bintang-bintang !
O, gambaran-gambaran yang fana ! 
Kerna langit di badan yang tidak berhawa,
 
dan langit di luar dilabur bias senjakala,
 
maka nurani dibius tipudaya.
 
Ya ! Ya ! Akulah seorang tua !
 
Yang capek tapi belum menyerah pada mati.
 
Kini aku berdiri di perempatan jalan.
 
Aku merasa tubuhku sudah menjadi anjing.
 
Tetapi jiwaku mencoba menulis sajak.
 
Sebagai seorang manusia.
Pejambon, 23 Oktober 1977 
Potret Pembangunan dalam Puisi


SAJAK SEORANG TUA TENTANG BANDUNG LAUTAN API
Oleh :
W.S. Rendra
Bagaimana mungkin kita bernegara 
Bila tidak mampu mempertahankan wilayahnya
 
Bagaimana mungkin kita berbangsa
 
Bila tidak mampu mempertahankan kepastian hidup
 
bersama ?
 
Itulah sebabnya
 
Kami tidak ikhlas
 
menyerahkan Bandung kepada tentara Inggris
 
dan akhirnya kami bumi hanguskan kota tercinta itu
 
sehingga menjadi lautan api
 
Kini batinku kembali mengenang
 
udara panas yang bergetar dan menggelombang,
 
bau asap, bau keringat
 
suara ledakan dipantulkan mega yang jingga, dan kaki
 
langit berwarna kesumba
Kami berlaga 
memperjuangkan kelayakan hidup umat manusia.
 
Kedaulatan hidup bersama adalah sumber keadilan merata
 
yang bisa dialami dengan nyata
 
Mana mungkin itu bisa terjadi
 
di dalam penindasan dan penjajahan
 
Manusia mana
 
Akan membiarkan keturunannya hidup
 
tanpa jaminan kepastian ?
Hidup yang disyukuri adalah hidup yang diolah 
Hidup yang diperkembangkan
 
dan hidup yang dipertahankan
 
Itulah sebabnya kami melawan penindasan
 
Kota Bandung berkobar menyala-nyala tapi kedaulatan
 
bangsa tetap terjaga
Kini aku sudah tua 
Aku terjaga dari tidurku
 
di tengah malam di pegunungan
 
Bau apakah yang tercium olehku ?
Apakah ini bau asam medan laga tempo dulu 
yang dibawa oleh mimpi kepadaku ?
 
Ataukah ini bau limbah pencemaran ?
Gemuruh apakah yang aku dengar ini ? 
Apakah ini deru perjuangan masa silam
 
di tanah periangan ?
 
Ataukah gaduh hidup yang rusuh
 
karena dikhianati dewa keadilan.
 
Aku terkesiap. Sukmaku gagap. Apakah aku
 
dibangunkan oleh mimpi ?
 
Apakah aku tersentak
 
Oleh satu isyarat kehidupan ?
 
Di dalam kesunyian malam
 
Aku menyeru-nyeru kamu, putera-puteriku !
 
Apakah yang terjadi ?
Darah teman-temanku 
Telah tumpah di Sukakarsa
 
Di Dayeuh Kolot
 
Di Kiara Condong
 
Di setiap jejak medan laga. Kini
 
Kami tersentak,
 
Terbangun bersama.
 
Putera-puteriku, apakah yang terjadi?
 
Apakah kamu bisa menjawab pertanyaan kami ?
Wahai teman-teman seperjuanganku yang dulu, 
Apakah kita masih sama-sama setia
 
Membela keadilan hidup bersama
Manusia dari setiap angkatan bangsa 
Akan mengalami saat tiba-tiba terjaga
 
Tersentak dalam kesendirian malam yang sunyi
 
Dan menghadapi pertanyaan jaman :
 
Apakah yang terjadi ?
 
Apakah yang telah kamu lakukan ?
 
Apakah yang sedang kamu lakukan ?
 
Dan, ya, hidup kita yang fana akan mempunyai makna
 
Dari jawaban yang kita berikan.
Sajak-sajak : Rendra, Sutardji Calzoum Bachri 
pada Hari Kebangkitan Nasional 1990


SAJAK SEORANG TUA UNTUK ISTERINYA
Aku tulis sajak ini
untuk menghibur hatimu
Sementara kau kenangkan encokmu
kenangkanlah pula masa remaja kita yang gemilang
Dan juga masa depan kita
yang hampir rampung
dan dengan lega akan kita lunaskan.
Kita tidaklah sendiri
dan terasing dengan nasib kita
Kerna soalnya adalah hukum sejarah kehidupan.
Suka duka kita bukanlah istimewa
kerna setiap orang mengalaminya.
Hidup tidaklah untuk mengeluh dan mengaduh
Hidup adalah untuk mengolah hidup
bekerja membalik tanah
memasuki rahasia langit dan samodra,
serta mencipta dan mengukir dunia.
Kita menyandang tugas,
kerna tugas adalah tugas.
Bukannya demi sorga atau neraka.
Tetapi demi kehormatan seorang manusia.
Kerna sesungguhnyalah kita bukan debu
meski kita telah reyot, tua renta dan kelabu.
Kita adalah kepribadian
dan harga kita adalah kehormatan kita.
Tolehlah lagi ke belakang
ke masa silam yang tak seorangpun kuasa menghapusnya.
Lihatlah betapa tahun-tahun kita penuh warna.
Sembilan puluh tahun yang dibelai napas kita.
Sembilan puluh tahun yang selalu bangkit
melewatkan tahun-tahun lama yang porak poranda.
Dan kenangkanlah pula
bagaimana kita dahulu tersenyum senantiasa
menghadapi langit dan bumi, dan juga nasib kita.
Kita tersenyum bukanlah kerna bersandiwara.
Bukan kerna senyuman adalah suatu kedok.
Tetapi kerna senyuman adalah suatu sikap.
Sikap kita untuk Tuhan, manusia sesama,
nasib, dan kehidupan.
Lihatlah! Sembilan puluh tahun penuh warna
Kenangkanlah bahwa kita telah selalu menolak menjadi koma.
Kita menjadi goyah dan bongkok
kerna usia nampaknya lebih kuat dari kita
tetapi bukan kerna kita telah terkalahkan.
Aku tulis sajak ini
untuk menghibur hatimu
Sementara kaukenangkan encokmu
kenangkanlah pula
bahwa kita ditantang seratus dewa.

WS. Rendra, Sajak-sajak sepatu tua,1972
…BAHWA KITA DITANTANG SERATUS DEWA.


SAJAK TANGAN
Oleh : 
W.S. Rendra
Inilah tangan seorang mahasiswa, 
tingkat sarjana muda.
 
Tanganku. Astaga.
Tanganku menggapai, 
yang terpegang anderox hostes berumbai,
 
Aku bego. Tanganku lunglai.
Tanganku mengetuk pintu, 
tak ada jawaban.
 
Aku tendang pintu,
 
pintu terbuka.
 
Di balik pintu ada lagi pintu.
 
Dan selalu :
 
ada tulisan jam bicara
 
yang singkat batasnya.
Aku masukkan tangan-tanganku ke celana 
dan aku keluar mengembara.
 
Aku ditelan Indonesia Raya.
Tangan di dalam kehidupan 
muncul di depanku.
 
Tanganku aku sodorkan.
 
Nampak asing di antara tangan beribu.
 
Aku bimbang akan masa depanku.
Tangan petani yang berlumpur, 
tangan nelayan yang bergaram,
 
aku jabat dalam tanganku.
 
Tangan mereka penuh pergulatan
 
Tangan-tangan yang menghasilkan.
 
Tanganku yang gamang
 
tidak memecahkan persoalan.
Tangan cukong, 
tangan pejabat,
 
gemuk, luwes, dan sangat kuat.
 
Tanganku yang gamang dicurigai,
 
disikat.
Tanganku mengepal. 
Ketika terbuka menjadi cakar.
 
Aku meraih ke arah delapan penjuru.
 
Di setiap meja kantor
 
bercokol tentara atau orang tua.
 
Di desa-desa
 
para petani hanya buruh tuan tanah.
 
Di pantai-pantai
 
para nelayan tidak punya kapal.
 
Perdagangan berjalan tanpa swadaya.
 
Politik hanya mengabdi pada cuaca…..
 
Tanganku mengepal.
 
Tetapi tembok batu didepanku.
 
Hidupku tanpa masa depan.
Kini aku kantongi tanganku. 
Aku berjalan mengembara.
 
Aku akan menulis kata-kata kotor
 
di meja rektor
TIM, 3 Juli 1977 
Potret Pembangunan dalam Puisi


SAJAK WIDURI UNTUK JOKI TOBING
Oleh : 
W.S. Rendra
Debu mengepul mengolah wajah tukang-tukang parkir. 
Kemarahan mengendon di dalam kalbu purba.
 
Orang-orang miskin menentang kemelaratan.
 
Wahai, Joki Tobing, kuseru kamu,
 
kerna wajahmu muncul dalam mimpiku.
 
Wahai, Joki Tobing, kuseru kamu
 
karena terlibat aku di dalam napasmu.
 
Dari bis kota ke bis kota
 
kamu memburuku.
 
Kita duduk bersandingan,
 
menyaksikan hidup yang kumal.
 
Dan perlahan tersirap darah kita,
 
melihat sekuntum bunga telah mekar,
 
dari puingan masa yang putus asa.
Nusantara Film, Jakarta, 9 Mei 1977 
Potret Pembangunan dalam Puisi

TAHANAN
Oleh :
W.S. Rendra
Atas ranjang batu 
tubuhnya panjang
 
bukit barisan tanpa bulan
 
kabur dan liat
 
dengan mata sepikan terali
Di lorong-lorong 
jantung matanya
 
para pemuda bertangan merah
 
serdadu-serdadu Belanda rebah
Di mulutnya menetes 
lewat mimpi
 
darah di cawan tembikar
 
dijelmakan satu senyum
 
barat  di perut gunung
 
(Para pemuda bertangan merah
 
adik lelaki neruskan dendam)
Dini hari bernyanyi 
di luar dirinya
 
Anak lonceng
 
menggeliat enam kali
 
di perut ibunya
 
Mendadak
 
dipejamkan matanya
Sipir memutar kunci selnya 
dan berkata
 
-He, pemberontak
 
hari yang berikut bukan milikmu !
Diseret di muka peleton algojo 
ia meludah
 
tapi tak dikatakannya
 
-Semalam kucicip sudah
 
betapa lezatnya madu darah.
Dan tak pernah didengarnya 
enam pucuk senapan
 
meletus bersama
Kisah 
Th VI, No 11
 
Nopember 1956