Dendang
Sepanjang Pematang
Cerpen: M. Arman AZ
Adalah kenangan yang menghimbauku untuk
menengok pohon randu itu. Letaknya menjorok sekitar sepuluh meter di sebelah
kiri jalan masuk kampung. Dahan-dahannya seperti masa lalu yang merentangkan
tangan. Aku tergoda untuk membelokkan langkah ke sana. Bersijingkat menyibak
rimbun ilalang setinggi pinggang.
Ohoi, pohon randu, inilah dia si anak hilang. Lama sudah
dia tak pulang. Sambut dan peluklah dia sepenuh kenang.
Kutelisik sisi belakang batang randu itu. Sekian
tahun silam, menggunakan sebilah belati milik kakek yang kupinjam tanpa izin
beliau, aku dan beberapa teman bergiliran memahat nama kami di sana. Tak ada
lagi ukiran nama kami. Aku tersenyum kecut menyadari kebodohanku barusan.
Bukankah pohon randu terus tumbuh seiring guliran waktu? Kuletakkan pantat di
tanah yang lembab. Menyandarkan punggung di kekar batang randu. Kuhela napas
haru. Aroma humus dan ilalang mengepung dari segenap penjuru.
Dari pohon yang jadi tapal batas kampung ini
dengan kampung seberang, kusaksikan pagi menggeliat lagi. Ufuk timur perlahan
benderang. Aku teringat selembar kartu pos bergambar sunrise yang mengintip
dari balik punggung gedung-gedung pencakar langit. Seorang teman mengirimnya
dari negeri yang jauh. Konon dia sekarang jadi kelasi kapal pesiar. Entah di
belahan dunia mana dia kini berada. Masih ingatkah dia pada pohon randu ini?
Masih ingatkah dia pada Pak Narto, guru kami dulu? Andai dia tahu beliau telah
mangkat, sanggupkah dia lipat jarak dan waktu agar bisa ikut mengantar
kepergiannya?
Kemarin siang, di tengah raung mesin pabrik,
ponsel tuaku bergetar. Sebuah nomor asing berkedip-kedip gelisah. Aku kaget
mendengar suara Ayub. Dia salah seorang sahabatku di kampung. "Pak Narto
wafat!" jeritnya dari seberang sana. Sebelum mengakhiri percakapan yang
tergesa-gesa, Ayub minta tolong agar kabar duka itu kusampaikan secara berantai
ke teman-teman lain.
Kutimang ponsel dengan gamang. Kenangan kampung halaman
begitu menyentak.
***
***
Aku tertegun menatap rumah Ayub. Dindingnya
dari papan. Di samping kiri ada tumpukan kayu bakar. Tanaman hias memagari
rumahnya. Ada kuntum kembang sepatu dan melati baru mekar. Sedap dipandang
mata. Di depan rumah ada bale-bale bambu. Ruas-ruasnya sudah renggang. Kuucap
salam di depan pintu yang separuh terbuka. Terdengar sahutan, langkah tergopoh,
dan derit pintu yang dikuak.
"Man?!" Dia terperangah. Aku tersenyum. Sudah
lama kami tak bersua. Detik itu juga, waktu seolah berhenti ketika kami saling
berpelukan.
"Baru datang? Wah, pangling aku. Gemuk kau sekarang.
Sudah jadi orang rupanya. Ah, sampai lupa aku. Ayo masuk." Runtun
kalimatnya. Dia tepuk-tepuk dan rangkul bahuku. Aku duduk di kursi rotan ruang
tamu. Tas kecil kuletakkan di lantai semen. Ayub memanggil istrinya. Dikenalkan
padaku seraya minta dibuatkan dua gelas kopi.
Wajah Ayub yang sesegar pagi cepat menghapus
letihku. Diam-diam kucermati sosoknya. Ia memakai kaos putih lusuh dan celana
panjang hitam. Tubuhnya kekar. Kulitnya legam. Urat-urat lengannya menyembul
keluar. Ketika senyum atau bicara, gigi putihnya berderet rapi. Dengan penuh
keluguan ia dedahkan hidupnya kini.
Dari semua nama yang terpahat di batang
randu, cuma Ayub yang masih setia pada kampung ini. Yang lainnya telah pergi
menyabung nasib ke kota, ke pulau seberang, bahkan ke negeri orang. Ayub hidup
dari mengurus sawah dan ladang warisan orang tua. Katanya, meski sempat
diserang hama wereng, panen dua bulan lalu cukup lumayan. Hasilnya digunakan
untuk menyulap tanah kosong di belakang rumah jadi empang. Dia pelihara ikan mas
dan gurami untuk menambah penghasilan.
Aku ngilu waktu Ayub menyuruhku menginap di
rumahnya. Tawaran itu menohok batinku. Aku tak punya apa-apa lagi di sini.
Setengah windu setelah Emak menyusul Abah ke liang lahat, aku dan tiga
saudaraku sepakat menjual sawah dan rumah. Kami ingin merantau. Mencari nasib
yang lebih baik. Setelah hasil penjualan dibagi rata, kami pun berpencar ke
penjuru mata angin.
Bagaimana menguraikan keadaanku pada Ayub?
Aku cuma buruh pabrik tekstil di pulau seberang yang gaji tiap bulan ludes
untuk menghidupi istri dan empat anak yang masih kecil. Bedeng kontrakan kami
tak jauh dari kawasan pabrik. Berhimpitan dengan bedeng-bedeng lainnya.
Lingkungannya kumuh, dikepung bacin selokan dan tempat pembuangan sampah. Kami
sudah biasa antre mandi, buang hajat, atau cuci pakaian di WC umum yang ada di
tiap pojok bedeng.
Ayub terpana mendengar ceritaku. Sambil terkekeh-kekeh dia menyela, "Jangankan mengalaminya, membayangkannya saja aku tak sanggup."
Ayub terpana mendengar ceritaku. Sambil terkekeh-kekeh dia menyela, "Jangankan mengalaminya, membayangkannya saja aku tak sanggup."
Menepis risau, kuraih gagang gelas. Kuseruput
kopi yang dihidangkan istri Ayub. Ah, kopi yang digoreng sendiri lebih nikmat
rasanya. Sambil menyulut rokok, Ayub berkata, "Kenapa tak pulang saja,
Man? Beli sawah. Bertani. Meneruskan tradisi keluarga kita dulu."
Aku tercekat. Sekian lama di rantau, sekian jauh berjarak dengan kampung halaman, tak pernah terbersit di benakku untuk pulang.
Aku tercekat. Sekian lama di rantau, sekian jauh berjarak dengan kampung halaman, tak pernah terbersit di benakku untuk pulang.
***
Sepanjang jalan menuju rumah duka, kami
kenang kawan-kawan lama. Maryamah, gadis lugu yang dulu pernah aku kesengsem
padanya, kini jadi biduan orkes dangdut. Namanya diubah jadi Marta. Kata Ayub,
jangan harap dia menengok jika dipanggil dengan nama asli. Darto, yang paling
pintar di kelas kami, jadi tukang becak di kota. Sebulan sekali dia pulang
menjenguk ibunya yang sakit tua. Aku kaget mendengar nasib Sumarno. Dia jadi
bencong. Ngamen di gerbong-gerbong kereta. Lantas kuingat Abas. Ayub bilang,
dia ketiban bulan. Hidupnya kini makmur. Mertua Abas orang kaya di kota
kecamatan. Abas ditugasi mengurus koperasi. Kesempatan itu tak disia-siakan
Abas. Dia pinjamkan uang pada orang-orang dengan bunga tinggi. Masih kuingat
guyonan tentang Abas dulu. Jika ketemu Abas dan ular sawah dalam waktu
bersamaan, lebih baik bunuh Abas duluan, sebab culasnya melebihi ular. Dan si
Ahmad, anak pendiam dan alim itu, sekarang nyantri di sebuah pesantren di
Madura.
Ah, waktu telah mengubah segalanya. Kisah
teman-teman lama membuatku takjub, heran, campur sedih. Hingga tak terasa
tempat yang kami tuju sudah di depan mata. Usai berdoa di sisi almarhum Pak
Narto, kami beringsut keluar dari ruang tamu. Duduk di seberang jalan dekat
batang bambu yang dihiasi kain kuning. Makin tinggi matahari, makin banyak
pelayat datang. Aku termangu menatap rumah duka itu. Ada tarup besar memayungi
halaman. Kursi-kursi plastik penuh terisi. Dari bisik-bisik yang kudengar,
Marta yang membayar sewa tarup dan kursi itu. Dia tak bisa datang melayat.
Dulu warga kampung ini hidup penuh harmoni
dan bersahaja. Meski tak ada hubungan darah, kami merasa selayaknya saudara.
Kehidupan yang lambat laun sekeras batulah yang memaksa kami untuk memilih.
Merantau jadi pilihan kami, anak-anak muda kala itu.
Sejauh-jauh terbang, warga kampung ini pasti
mudik setiap lebaran. Cuma aku yang jarang pulang semenjak tak ada lagi yang
tersisa di sini. Begitu juga jika ada yang meninggal, Kami yang di rantau pasti
dikabari. Tapi, entah kenapa, sampai jenazah Pak Narto berkalang tanah di
pemakaman umum di pojok kampung, hanya segelintir teman yang kutemui. Apakah
sosok lelaki kurus jangkung dan ramah itu telah lesap dari ingatan mereka?
Apakah rutinitas membuat mereka tak sempat lagi untuk sekedar menengok masa
silam?
***
Hari kedua di kampung. Ayub mengajakku ke
sawah. Pematang-pematang itu sudah tak sabar menunggu jejakmu, guraunya. Di
jalan, kami berpapasan dengan warga yang hendak ke sawah atau ladang. Ada yang
jalan kaki sambil menenteng pacul di bahu. Ada yang menggoes sepeda. Aku
terharu. Mereka masih mengingatku dan meluangkan waktu sejenak untuk mengobrol.
Justru generasi muda kampung ini yang
membuatku jengah. Beberapa kali kulihat mereka memacu sepeda motor sesuka hati.
Ngebut di jalan tanah berbatu. Meninggalkan debu panjang di depan mataku.
Sawah Ayub beberapa puluh meter di depan
sana, dekat rimbunan pohon pisang. Ketika masih ngungun menatap hamparan
permadani hijau itu, Ayub mengajakku turun. Kapan terakhir kali aku meniti
pematang? Alangkah jauh masa itu kutinggalkan.
Ayub melenggang tanpa kuatir tergelincir ke
lumpur sawah. Aku jauh tertinggal di belakangnya. Melangkah tersendat-sendat
sambil merentangkan tangan untuk menjaga keseimbangan.
Lir ilir, lir ilir. Tandure wis semilir. Tak ijo royo-royo. Tak sengguh temanten anyar...
Lir ilir, lir ilir. Tandure wis semilir. Tak ijo royo-royo. Tak sengguh temanten anyar...
Hawa dingin meniup tengkukku ketika mendengar tembang gubahan Sunan Bonang itu. Sempat terbersit untuk mengikuti Ayub berdendang sepanjang pematang. Namun, entah kenapa, bibirku terasa kelu.
Dari huma beratap rumbia, kusaksikan Ayub
berkubang di tengah sawah. Batang-batang padi meliuk. Menimbulkan suara
gemerisik ketika saling bergesekan. Sepasang kepodang terbang melayang di
keluasan langit. Suara serunai terdengar sayu-sayup sampai. Entah siapa
peniupnya. Mendengarnya, aku seakan terhisap dan sesat dalam masa lalu.
Kami pulang menjelang petang. Memutari jalan
kampung. Meski lebih jauh jaraknya, tapi aku tak keberatan. Kami mau ke sungai
tempat dulu biasa berenang. Sesampainya di sana, hati-hati kami turuni tebing
penuh lumut. Aku rindu membasuh muka dengan air sungai. Kutangkupkan kedua
telapak tangan lalu kucelupkan ke dalam air. Ayub terkekeh-kekeh melihat
kelakuanku yang mirip anak kecil. Setelah segar kami pulang. Baru beberapa
puluh langkah menyusuri jalan sunyi, tiba-tiba Ayub mencekal bahuku. Tangannya
menuding rimbun ilalang yang bergerak-gerak mencurigakan. Aku ingat, Ayub
pernah membidik burung dengan ketapel. Bidikannya paling jitu di antara kami.
Burung itu jatuh dari dahan pohon. Menggelepar di semak-semak. Kami
mengendap-endap. Alangkah kaget kami memergoki pemandangan itu. Ada sepasang
remaja tanggung sedang asyik bercumbu.
Ayub menghardik mereka. Aku terpana. Merasa
tertangkap basah, wajah keduanya pucat dan merah padam. Mereka buru-buru
membenahi pakaian lalu setengah berlari menuju tempat motor diparkir. Kami
kembali melanjutkan langkah. Wajah Ayub kaku. Sepanjang jalan dia
bersungut-sungut memaki kelakuan dua anak tadi.
***
Harum bunga kopi merayap dibawa angin.
Bintang bertaburan di langit lama. Suara jangkerik dan kodok jadi musik alam.
Aku serasa sedang berada di sorga.
"Kampung kita sudah berubah, Man," kata Ayub
sambil menatap cahaya kunang-kunang yang timbul tenggelam di rimbun ilalang.
"Ya, aku seperti orang asing di sini," suaraku
gamang.
"Semua teman kita pergi merantau. Jadi TKI, babu,
atau buruh sepertimu. Tetua kampung meninggal satu-satu. Apalagi sejak
teknologi modern menyerbu. Kampung kita makin kehilangan jati dirinya. Asal kau
tahu, apa yang kau lihat di tepi sungai tadi belum seberapa..."
Kalimat Ayub terakhir membuatku risau. Aku
enggan bertutur lebih banyak. Aku harus tahu diri.
Setelah memilih jadi manusia urban, aku tak punya kuasa
apa-apa lagi di sini.
***
Izin cuti empat hari telah usai. Takziah tiga
malam berturut-turut di rumah almarhum Pak Narto telah kuikuti. Aku harus
pulang pagi ini. Rindu kampung halaman telah kutebus dengan hal-hal
menyakitkan. Tapi biarlah kutelan dalam hati saja.
Dengan motor tuanya, Ayub mengantarku ke pasar di kampung
sebelah. Di sana ada angkutan pedesaan yang trayeknya sampai ke terminal kota.
Dari terminal itu aku akan menyambung perjalanan ke pulau seberang.
Persis ketika kami lewati pohon randu itu,
lagi-lagi Ayub mengimbauku agar pulang saja. Sebenarnya tak ada lagi yang ingin
kukatakan. Namun sekedar menghibur diri, kukatakan pada Ayub bahwa aku punya
mimpi yang sederhana. Satu saat nanti, jika ada uang, aku mau pulang.
Membeli sawah. Bertani sambil beternak puyuh dan itik.
Makan dari hasil keringat sendiri.
Hidup tenteram bersama anak istri.
Ayub berjanji kelak akan menagih mimpiku.
Sementara aku membayangkan omong kosong yang baru saja kuucapkan, cuma bisa
tersenyum giris...***
Geen opmerkings nie:
Plaas 'n opmerking