Sondag 31 Maart 2013


PLEIDOI
Tuhan, izinkan aku membacakan Pleidoi ini jauh hari sebelum pengadilan suci-Mu datang, walau tak sedikit pun aku pantas memintanya lantaran segunung besar kefanaanku. Aku tahu, Tuhan, bila lantaran kenekatanku tuk mencoba paksa berbicara dengan-Mu ini hanya kan membuat amarah para pendeta palsu di kuil-kuil itu kian semakin terburai. Ya, kuil para durjana yang pelitanya berbahan bakar keringat dan darah manusia-manusia sepertiku. Tapi biarlah, kan ku ambil resiko itu. Biarlah kulahap saja amarah mereka yang menggunung; bergelegar; dengan lahar-lahar kebenciannya yang semakin liar.
Tapi sebelum itu, Tuhan, izinkan kuputarkan kembali rekaman hidupku satu setengah windu terakhir silam, yang bermuara pada Pleidoi ini.
Dua belas tahun silam, aku terkesiap. Darah mudaku mendidih meletup-letup, suara nuraniku membuncah tak berpola. Segala keyakinanku tentang satu-satunya jalan menuju kebenaran-Mu, yang sejak dini kuyakini, terabrasi gelombang berbagai logika teologi pembebasan, yang menggugat cara-cara penyembahanku kepada-Mu.
“Kau pikir, kau akan menjadi kekasih Tuhan yang sejati hanya dengan komat-kamit sucimu itu?” sebuah suara menghardik nurani kosongku.

Tak kusangka, seorang kerabat setiaku menjadi begitu sinis dengan cara rutinitasku memuji-Mu. Jelas, kubantah ia keras-keras.
Ah... rupanya, ia tak main-main dengan sinisme yang mencoba menggugat ritualitas status quo tentang caraku mengabdi kepada-Mu. Hingga suatu ketika, dibawakannya aku seorang pemuda dengan wajah bersinar, hingga silau aku dibuatnya.
“Sudah waktunya bagimu untuk kembali ke jalan Tuhan yang sesungguhnya,” sabdanya.

Aih..aih, sombong benar pemuda ini, fikirku. Sok benar ia mengguruiku, yang tak selewat pun lalai memenuhi kewajiban pemujaanku kepada-Mu. Tercabar aku dibuatnya. Kupertaruhkan segenap energi intelektual pada diriku untuk meningkuhnya. Tapi aku kalah.
Entah mengapa, aku yang selalu tampil sebagai juara debat menjadi tak berdaya dibuatnya. Semacam ada sekumpulan ruh suci yang meningkarku. Ruh-ruh itu tampaknya bersekongkol dengan pemuda dengan wajah bersinar tadi. Aku merasa ruh-ruh itu adalah bala yang Kau utus untuk menuntunku ke jalan-Mu. Aku ikhlas atas kekalahanku, yang karenanya justru awal dari segala kemenanganku. Setidaknya, itu sugesti yang hadir sebagai hadiah hiburan atas kekalahan tadi.
Betul saja, sejurus setelah aku dimentori pemuda dengan wajah bersinar tadi, mukjizat-mukjizat segera melingkariku. Kurasakan atmosfer pencerahan tiada tara, kekuatan hati tanpa batas. Kekuatan tentang diorama pengetahuan suci segera menumpat ruang-ruang logika ilmiah di otakku.
Kurasakan, setiap tetes darah yang mengalir di tubuhku segera terwarnai oleh kegemilauan kisah para ksatria pedang di masa silam, yang bergelimang pujian lantaran kegemilangan kisah-kisah ekspansif mereka dalam membesarkan kerajaan-Mu.
“Aku pun akan segera menjadi seperti mereka,” begitu suara-suara sugestif yang selalu menyemangati setiap nafasku. Sugesti yang senantiasa dihembuskan oleh fulan dengan silau sinar diwajahnya.
Hei... Betapa gagahnya aku. Ya ... itu karena aku telah berubah: dari seorang manusia biasa dengan cita-cita sederhana, menjadi manusia dengan ruh baru, ruh yang pernah menggerakkan keberanian para ksatria pedang-Mu tadi, yang legendanya tak kan lekang hingga akhir zaman nanti. Walau ku hidup di tempat dan zaman yang berbeda, dengan cara yang berbeda, tapi kini aku adalah mereka. Jiwa dan semangat mereka telah tereinkarnasi ke dalam jiwaku.
Bedanya, aku tiada harus menghunus pedang baja. Aku hanya perlu menghunus rangkaian sabda-sabda suci-Mu untuk menulari orang-orang agar menjadi ksatria seperti diriku. Ya...dengannya kubunuhi doktrin-doktin tentang pengabdian suci konvensional, yang kami anggap sudah tak lagi murni. Ya... dengannya lalu kutulari mereka dengan keyakinan atas cara-cara pengabdian suciku.
Tak terhitung, mungkin beribu sudah manusia berubah menjadi sepertiku, bertungkus lumus dengan cara-cara suci yang aku yakini sebagai satu-satunya karpet merah menuju pemainan surga-Mu. Meskipun, untuk itu, kukorbankan segala yang kumiliku: cinta, keluarga, karier, uang, .... segalanya. Aku menjadi seperti vampire. Aku menulari mereka, kubuat mereka menjadi seperti aku. Seperti juga pemuda berwajah terang tadi menulariku.

Jalan yang kutempuh bukannya tanpa konsekwensi. Aku, juga orang-orang sepertiku, menjadi hingga ketohoran uang lantarannya. Sebagian lagi  ketohoran karir, ketohoran rumah tangga. Seperti juga aku, setiap sen pendapatan yang ada terkuras habis untuk membeli bongkah-bongkah emas yang akan menjadi bahan pelester dinding-dinding bangunan suci yang menjadi monumen kelompok kami. Juga, batu-batu pualam kelas satu, dan segala sesuatu yang kami persembahkan sebagai wujud cinta kami kepada-Mu.
Bahkan, sebagian di antara kami, yang memiliki derajat nyali beribu kali lipat, memilih jalan samurai untuk segera berada di sisi-Mu. Mereka ledakkan tubuh-tubuh mereka, juga tubuh-tubuh manusia-manusia yang mereka anggap kafir, atau murtad, atau apalah namanya, yang belakangan kusadari ternyata semua vonis kafir itu tak adil.
Cara-cara itu, sungguh sangat tidak mencerminkan sifat-sifat-Mu. Syukurlah, dalam barisan kami, cara-cara semacam itu kami haramkan. Kami sadar: kemiskinan, kesengsaraan, bahkan kematian sekali pun tak sebanding dengan segala nikmat yang telah Kau gerujugkan kepada kami.
Hingga suatu ketika....
“Enak saja kau bermimpi tentang bidadari. Bukankah pengabdian sucimu telah kau batalkan demi hati nuranimu yang picik, yang lebih berpihak pada tangisan jabang bayi merahmu yang kehausan susu, demi segala kemuliaan semu yang tak kan laku kau tukar walau hanya dengan sebutir kerikil surga.
Hei, orang kafir ... jangankan bidadari, bau surga pun telah diharamkan bagimu?” begitu aku dihardik salah seorang mentor pada kelompok kami. Seketika, aku teringat dengan parade sumbang sumpah serapahku sendiri, lima tahun silam, yang kusemburatkan kepada seorang kader muda yang mulai goyah keyakinannya.
Ya ... aku masih ingat, waktu itu aku telah menjadi seorang perwira dalam kelompok itu. Dengan pangkatku itu, kusumpah-serapahi dua orang kadet baru di kelompok pergerakan bawah tanah tempat kami bergumul dengan ideologi sektarian. Sumpah serapah yang secara spontan kuhadiahkan lantaran keduanya memilih mundur teratur dari derap perjuangan.
Sungguh, ketika itu, kekecewaanku memuncak. Padahal sudah kutempa mereka berbulan hari agar kokoh menyandang peran sebagai ksatria penjunjung tinggi ajaran terluhung di muka bumi ini. Seperti halnya aku, mereka pun telah bersumpah atas nama Tuhan: memaklumatkan diri untuk tak pernah murtad dari doktrin-doktrin perjuangan yang telah kami yakini, dan kami pilih sebagai jalan hidup.
Namun sesungguhnya, di balik sumpah serapahku itu, nuraniku meneriakkan kata protes kepada nurani diri: “lancang benar kau berakting menjadi Tuhan. Kau pinjam kuasa-Nya, tanpa seizin Dia. Bukankah hanya Tuhan yang berkuasa memilih pilah jiwa-jiwa yang kelak berhak mewarisi kunci-kunci pembuka pintu neraka dan surga? Apakah mungkin, Tuhan, zat suci nan pemaaf, akan membiarkan begitu saja sebatalion algojo neraka membantai dua kadetmu itu hanya karena vonis kafir dari seorang fana sepertimu? Ah...sungguh tamparan keras dari dalam nuraniku yang paling dalam.
Tapi, Tuhan ... betapa kecewanya aku. Ketika aku telah secara pasti menapaki tangga demi tangga karir keperwiraan di istana para lelaki yang mendaulat diri sebagai perwira-Mu, segera saja keyakinan mutlakku tentang segala jalan ini mulai terusik. Saat aku telah mulai bisa bercengkrama dengan para “Manusia Agung” di kelompok perjuangan ini, yang garis-garis guratan bekas-bekas keprihatinan dan keletihannya telah hilang, justru mulai melemah daya pacu juangku.
Aku kecewa, Tuhan. Ketika ratusan ribu pengikut gerakan perjuangan kami berpeluh keringat mengasong dagangan di terminal-terminal bus agar kotak-kotak uang untuk membeli bahan bakar perjuangan kami penuh terisi, justru para perwira tinggi yang kutaati titahnya bertingkah mewah dengan biaya dari kumpulan upeti tadi.
Dan aku kecewa, ketika satu per satu daun dan ranting organisasi perjuangan berontokan, dan ketika seratus batalyon berantakan karena keletihan berjuang, para manusia-manusia agung tadi justru berdalih: “Biar saja mereka melenggang pergi, tak kan teruk benar dampaknya bagi perjuangan kita. Tanpa mereka, penerokaan ini akan terus melangkah hingga tapal batas terakhir.” Tuhan, mana mungkin biduk kan sampai di pulau tujuan jika para awaknya mati kehausan di tengah samudera?
Tuhan, salahkah aku berpaling dari mereka karena telah kusaksikan titih petingkah para "manusia-manusia setengah dewa-Mu" itu yang telah bertingkuh bantah melantik diri sebagai para hulubalang-Mu? Padahal, yang terpancar dari mereka justru perilaku-perilaku makhluk setengah manusia setengah iblis.

Salahkah kutinggalkan para sekutu-Mu yang telah melukai hati para pengabdi-Mu yang salih? Mereka, yang sedang dimabuk kekuasaan dan harta? Mereka, yang menghardik para kurcaci yang selama ini telah memanggul tandu-tandu emas yang mereka tumpangi? Oh...Tuhan, sebegitu tak berhargakah nilai para kurcaci kerdil, yang telah serahkan segalanya tuk jalan-Mu?
Tuhan, haruskah aku tertakluk kepada para bendahari kerajaan-Mu yang justru saling menilap berton-ton emas titipan para hamba-Mu yang salih, hanya tuk membiayai dandanan adiluhung, yang mereka gemari?

Tuhan, biarlah letih dan keringatku yang menitis deras selama satu setengah windu ini terbuang tanpa pamrih. Sebab kutahu, sepotong episode hidupku yang telah aku wakafkan untuk meneroka kembali negeri ini, yang katanya penuh dengan tumpak belukar kejahiliahan; dan tiwikramaku hingga aku berpeluh letih untuk misi suci tanpa batas dan tanpa akhir, juga napak tilasku menyusuri ulang langkah dan kisah para manusia suci utusan-Mu, semestinya memang bukan sesuatu yang harus kupamrihi.
Aaah ... tapi kuyakin, sepasang malaikat yang bersemayam di sepasang pundak ini tak kan alpa mencatatkan itu semua untukku, agar bisa kutukar kelak dengan sepasang bidadari genit, seperti janji-janji bagi manusia-manusia yang memilih jalan hidup berpeluh kesucian.
Atau, kelak kan kutukar dengan sepasang sayap putih bersih yang kan membawaku terbang melayang-layang di angkasa nirwana raya. Tuhan, bukankah tiada satu pun kebajikan yang tanpa imbalan dari-Mu?
Tapi Tuhan, masihkah boleh kuberharap setinggi itu? Bukankah pertapaan suciku tak tuntas? Dari yang kudengar dari tutur kata para perwira  nan tinggi  yang dulu kutaati, yang dulu kujunjung tinggi, para saksi ketika aku berjanji setia tuk menjadi tentara-Mu: Aku sekarang seorang bergelar kafir lantaran keingkaran atas segala ikrar kesetiaanku. Kesetiaan yang kububuhkan di atas sebuah kontrak bermateraikan darah. Dengannya, tak sekadar aku gadaikan, bahkan telah kujual segenap jiwa dan ragaku demi janji-janjimu: senyum-Mu dan, tentu saja, surga-Mu.
Tapi Tuhan, benarkah semua perjanjian jual beli itu kini batal terhapus dosa sejenakku: dosa yang aku lakukan demi membayar sekumpulan dosa-dosaku kepada-Mu lantaran mengabaikan jeritan pasukanku, dan segenap keluarga mereka?
Benarkah kini aku sekarang seorang laknat hanya karena aku menerompetkan suara-suara hatiku, juga anak istriku, yang sesungguhnya?
Tuhan, sungguh aku dalam kebimbangan: mana yang lebih brengsek: aku atau mereka?
harisjimbe.blogspot.com

Geen opmerkings nie:

Plaas 'n opmerking