PLEIDOI
Tuhan,
izinkan aku membacakan Pleidoi ini jauh hari sebelum pengadilan suci-Mu datang,
walau tak sedikit pun aku pantas memintanya lantaran segunung besar kefanaanku.
Aku tahu, Tuhan, bila lantaran kenekatanku tuk mencoba paksa berbicara
dengan-Mu ini hanya kan membuat amarah para pendeta palsu di kuil-kuil itu kian
semakin terburai. Ya, kuil para durjana yang pelitanya berbahan bakar keringat
dan darah manusia-manusia sepertiku. Tapi biarlah, kan ku ambil resiko itu.
Biarlah kulahap saja amarah mereka yang menggunung; bergelegar; dengan
lahar-lahar kebenciannya yang semakin liar.
Tapi
sebelum itu, Tuhan, izinkan kuputarkan kembali rekaman hidupku satu setengah
windu terakhir silam, yang bermuara pada Pleidoi ini.
Dua
belas tahun silam, aku terkesiap. Darah mudaku mendidih meletup-letup, suara
nuraniku membuncah tak berpola. Segala keyakinanku tentang satu-satunya jalan
menuju kebenaran-Mu, yang sejak dini kuyakini, terabrasi gelombang berbagai
logika teologi pembebasan, yang menggugat cara-cara penyembahanku kepada-Mu.
“Kau
pikir, kau akan menjadi kekasih Tuhan yang sejati hanya dengan komat-kamit
sucimu itu?” sebuah suara menghardik nurani kosongku.
Tak kusangka, seorang kerabat setiaku menjadi begitu sinis dengan cara rutinitasku memuji-Mu. Jelas, kubantah ia keras-keras.
Ah...
rupanya, ia tak main-main dengan sinisme yang mencoba menggugat ritualitas
status quo tentang caraku mengabdi kepada-Mu. Hingga suatu ketika, dibawakannya
aku seorang pemuda dengan wajah bersinar, hingga silau aku dibuatnya.
“Sudah
waktunya bagimu untuk kembali ke jalan Tuhan yang sesungguhnya,” sabdanya.
Aih..aih, sombong benar pemuda ini, fikirku. Sok benar ia mengguruiku, yang tak selewat pun lalai memenuhi kewajiban pemujaanku kepada-Mu. Tercabar aku dibuatnya. Kupertaruhkan segenap energi intelektual pada diriku untuk meningkuhnya. Tapi aku kalah.
Entah
mengapa, aku yang selalu tampil sebagai juara debat menjadi tak berdaya
dibuatnya. Semacam ada sekumpulan ruh suci yang meningkarku. Ruh-ruh itu
tampaknya bersekongkol dengan pemuda dengan wajah bersinar tadi. Aku merasa
ruh-ruh itu adalah bala yang Kau utus untuk menuntunku ke jalan-Mu. Aku ikhlas
atas kekalahanku, yang karenanya justru awal dari segala kemenanganku.
Setidaknya, itu sugesti yang hadir sebagai hadiah hiburan atas kekalahan tadi.
Betul
saja, sejurus setelah aku dimentori pemuda dengan wajah bersinar tadi,
mukjizat-mukjizat segera melingkariku. Kurasakan atmosfer pencerahan tiada
tara, kekuatan hati tanpa batas. Kekuatan tentang diorama pengetahuan suci
segera menumpat ruang-ruang logika ilmiah di otakku.
Kurasakan,
setiap tetes darah yang mengalir di tubuhku segera terwarnai oleh kegemilauan
kisah para ksatria pedang di masa silam, yang bergelimang pujian lantaran
kegemilangan kisah-kisah ekspansif mereka dalam membesarkan kerajaan-Mu.
“Aku
pun akan segera menjadi seperti mereka,” begitu suara-suara sugestif yang
selalu menyemangati setiap nafasku. Sugesti yang senantiasa dihembuskan oleh
fulan dengan silau sinar diwajahnya.
Hei...
Betapa gagahnya aku. Ya ... itu karena aku telah berubah: dari seorang manusia
biasa dengan cita-cita sederhana, menjadi manusia dengan ruh baru, ruh yang
pernah menggerakkan keberanian para ksatria pedang-Mu tadi, yang legendanya tak
kan lekang hingga akhir zaman nanti. Walau ku hidup di tempat dan zaman yang
berbeda, dengan cara yang berbeda, tapi kini aku adalah mereka. Jiwa dan
semangat mereka telah tereinkarnasi ke dalam jiwaku.
Bedanya,
aku tiada harus menghunus pedang baja. Aku hanya perlu menghunus rangkaian
sabda-sabda suci-Mu untuk menulari orang-orang agar menjadi ksatria seperti
diriku. Ya...dengannya kubunuhi doktrin-doktin tentang pengabdian suci
konvensional, yang kami anggap sudah tak lagi murni. Ya... dengannya lalu
kutulari mereka dengan keyakinan atas cara-cara pengabdian suciku.
Tak
terhitung, mungkin beribu sudah manusia berubah menjadi sepertiku, bertungkus
lumus dengan cara-cara suci yang aku yakini sebagai satu-satunya karpet merah
menuju pemainan surga-Mu. Meskipun, untuk itu, kukorbankan segala yang
kumiliku: cinta, keluarga, karier, uang, .... segalanya. Aku menjadi seperti
vampire. Aku menulari mereka, kubuat mereka menjadi seperti aku. Seperti juga
pemuda berwajah terang tadi menulariku.
Jalan yang kutempuh bukannya tanpa konsekwensi. Aku, juga orang-orang sepertiku, menjadi hingga ketohoran uang lantarannya. Sebagian lagi ketohoran karir, ketohoran rumah tangga. Seperti juga aku, setiap sen pendapatan yang ada terkuras habis untuk membeli bongkah-bongkah emas yang akan menjadi bahan pelester dinding-dinding bangunan suci yang menjadi monumen kelompok kami. Juga, batu-batu pualam kelas satu, dan segala sesuatu yang kami persembahkan sebagai wujud cinta kami kepada-Mu.
Bahkan,
sebagian di antara kami, yang memiliki derajat nyali beribu kali lipat, memilih
jalan samurai untuk segera berada di sisi-Mu. Mereka ledakkan tubuh-tubuh
mereka, juga tubuh-tubuh manusia-manusia yang mereka anggap kafir, atau murtad,
atau apalah namanya, yang belakangan kusadari ternyata semua vonis kafir itu
tak adil.
Cara-cara
itu, sungguh sangat tidak mencerminkan sifat-sifat-Mu. Syukurlah, dalam barisan
kami, cara-cara semacam itu kami haramkan. Kami sadar: kemiskinan,
kesengsaraan, bahkan kematian sekali pun tak sebanding dengan segala nikmat
yang telah Kau gerujugkan kepada kami.
Hingga
suatu ketika....
“Enak
saja kau bermimpi tentang bidadari. Bukankah pengabdian sucimu telah kau
batalkan demi hati nuranimu yang picik, yang lebih berpihak pada tangisan
jabang bayi merahmu yang kehausan susu, demi segala kemuliaan semu yang tak kan
laku kau tukar walau hanya dengan sebutir kerikil surga.
Hei,
orang kafir ... jangankan bidadari, bau surga pun telah diharamkan bagimu?”
begitu aku dihardik salah seorang mentor pada kelompok kami. Seketika, aku
teringat dengan parade sumbang sumpah serapahku sendiri, lima tahun silam, yang
kusemburatkan kepada seorang kader muda yang mulai goyah keyakinannya.
Ya
... aku masih ingat, waktu itu aku telah menjadi seorang perwira dalam kelompok
itu. Dengan pangkatku itu, kusumpah-serapahi dua orang kadet baru di kelompok
pergerakan bawah tanah tempat kami bergumul dengan ideologi sektarian. Sumpah
serapah yang secara spontan kuhadiahkan lantaran keduanya memilih mundur
teratur dari derap perjuangan.
Sungguh,
ketika itu, kekecewaanku memuncak. Padahal sudah kutempa mereka berbulan hari
agar kokoh menyandang peran sebagai ksatria penjunjung tinggi ajaran terluhung
di muka bumi ini. Seperti halnya aku, mereka pun telah bersumpah atas nama
Tuhan: memaklumatkan diri untuk tak pernah murtad dari doktrin-doktrin perjuangan
yang telah kami yakini, dan kami pilih sebagai jalan hidup.
Namun
sesungguhnya, di balik sumpah serapahku itu, nuraniku meneriakkan kata protes
kepada nurani diri: “lancang benar kau berakting menjadi Tuhan. Kau pinjam
kuasa-Nya, tanpa seizin Dia. Bukankah hanya Tuhan yang berkuasa memilih pilah
jiwa-jiwa yang kelak berhak mewarisi kunci-kunci pembuka pintu neraka dan
surga? Apakah mungkin, Tuhan, zat suci nan pemaaf, akan membiarkan begitu saja
sebatalion algojo neraka membantai dua kadetmu itu hanya karena vonis kafir
dari seorang fana sepertimu? Ah...sungguh tamparan keras dari dalam nuraniku
yang paling dalam.
Tapi,
Tuhan ... betapa kecewanya aku. Ketika aku telah secara pasti menapaki tangga
demi tangga karir keperwiraan di istana para lelaki yang mendaulat diri sebagai
perwira-Mu, segera saja keyakinan mutlakku tentang segala jalan ini mulai
terusik. Saat aku telah mulai bisa bercengkrama dengan para “Manusia Agung” di
kelompok perjuangan ini, yang garis-garis guratan bekas-bekas keprihatinan dan
keletihannya telah hilang, justru mulai melemah daya pacu juangku.
Aku
kecewa, Tuhan. Ketika ratusan ribu pengikut gerakan perjuangan kami berpeluh
keringat mengasong dagangan di terminal-terminal bus agar kotak-kotak uang
untuk membeli bahan bakar perjuangan kami penuh terisi, justru para perwira
tinggi yang kutaati titahnya bertingkah mewah dengan biaya dari kumpulan upeti
tadi.
Dan
aku kecewa, ketika satu per satu daun dan ranting organisasi perjuangan
berontokan, dan ketika seratus batalyon berantakan karena keletihan berjuang,
para manusia-manusia agung tadi justru berdalih: “Biar saja mereka melenggang
pergi, tak kan teruk benar dampaknya bagi perjuangan kita. Tanpa mereka,
penerokaan ini akan terus melangkah hingga tapal batas terakhir.” Tuhan, mana
mungkin biduk kan sampai di pulau tujuan jika para awaknya mati kehausan di
tengah samudera?
Tuhan,
salahkah aku berpaling dari mereka karena telah kusaksikan titih petingkah para
"manusia-manusia setengah dewa-Mu" itu yang telah bertingkuh bantah
melantik diri sebagai para hulubalang-Mu? Padahal, yang terpancar dari mereka
justru perilaku-perilaku makhluk setengah manusia setengah iblis.
Salahkah kutinggalkan para sekutu-Mu yang telah melukai hati para pengabdi-Mu yang salih? Mereka, yang sedang dimabuk kekuasaan dan harta? Mereka, yang menghardik para kurcaci yang selama ini telah memanggul tandu-tandu emas yang mereka tumpangi? Oh...Tuhan, sebegitu tak berhargakah nilai para kurcaci kerdil, yang telah serahkan segalanya tuk jalan-Mu?
Tuhan,
haruskah aku tertakluk kepada para bendahari kerajaan-Mu yang justru saling
menilap berton-ton emas titipan para hamba-Mu yang salih, hanya tuk membiayai
dandanan adiluhung, yang mereka gemari?
Tuhan,
biarlah letih dan keringatku yang menitis deras selama satu setengah windu ini
terbuang tanpa pamrih. Sebab kutahu, sepotong episode hidupku yang telah aku
wakafkan untuk meneroka kembali negeri ini, yang katanya penuh dengan tumpak
belukar kejahiliahan; dan tiwikramaku hingga aku berpeluh letih untuk misi suci
tanpa batas dan tanpa akhir, juga napak tilasku menyusuri ulang langkah dan
kisah para manusia suci utusan-Mu, semestinya memang bukan sesuatu yang harus
kupamrihi.
Aaah
... tapi kuyakin, sepasang malaikat yang bersemayam di sepasang pundak ini tak
kan alpa mencatatkan itu semua untukku, agar bisa kutukar kelak dengan sepasang
bidadari genit, seperti janji-janji bagi manusia-manusia yang memilih jalan
hidup berpeluh kesucian.
Atau,
kelak kan kutukar dengan sepasang sayap putih bersih yang kan membawaku terbang
melayang-layang di angkasa nirwana raya. Tuhan, bukankah tiada satu pun
kebajikan yang tanpa imbalan dari-Mu?
Tapi
Tuhan, masihkah boleh kuberharap setinggi itu? Bukankah pertapaan suciku tak
tuntas? Dari yang kudengar dari tutur kata para perwira nan tinggi
yang dulu kutaati, yang dulu kujunjung tinggi, para saksi ketika aku berjanji
setia tuk menjadi tentara-Mu: Aku sekarang seorang bergelar kafir lantaran
keingkaran atas segala ikrar kesetiaanku. Kesetiaan yang kububuhkan di atas
sebuah kontrak bermateraikan darah. Dengannya, tak sekadar aku gadaikan, bahkan
telah kujual segenap jiwa dan ragaku demi janji-janjimu: senyum-Mu dan, tentu
saja, surga-Mu.
Tapi
Tuhan, benarkah semua perjanjian jual beli itu kini batal terhapus dosa
sejenakku: dosa yang aku lakukan demi membayar sekumpulan dosa-dosaku kepada-Mu
lantaran mengabaikan jeritan pasukanku, dan segenap keluarga mereka?
Benarkah
kini aku sekarang seorang laknat hanya karena aku menerompetkan suara-suara
hatiku, juga anak istriku, yang sesungguhnya?
Tuhan,
sungguh aku dalam kebimbangan: mana yang lebih brengsek: aku atau mereka?
harisjimbe.blogspot.com
Geen opmerkings nie:
Plaas 'n opmerking