TEMA
A.
Pengertian tema
1. Tema adalah gagasan dasar umum yang
menopang sebuah karya sastra yang terkandung di dalam teks sebagai stuktur
semantis dan menyangkut persamaan-persamaan atau perbedaan-perbedaan (Hartoko & Rahmanto, 1986;142).
2. Tema adalah makna keseluruhan yang
mendukung sebuah cerita.
3. Tema adalah makna sebuah cerita yang
secara khusus menerangkan sebagaian besar unsurnya dengan cara yang
sederhana.Tema menurutnya kurang lebih dapat bersinonim dengan ide utama (central idea) dan tujuan utama (central purpose).(Stanton, 1965;21).
4. Tema adalah subyek wacana, topik umum,
atau masalah utama yang dituangkan ke dalam sebuah cerita (Shipley, 1962;417)
B.
Cara mencari tema
1.
Mencari
makna atau hal-hal yang diungkap atau dibahas.
2.
Memilih
makna yang paling banyak memasuki cerita.
C.
Penggolongan tema
1. Tema mayor
Tema mayor adalah makna pokok cerita yang menjadi dasar
atau gagasan dasar umum karya tersebut, atau bisa juga disebut tema yang paling
utama.
2.
Tema
minor
Tema minor adalah makna yang terdapat pada bagaian cerita
atau bisa disebut sebagai tema sebagaian. Dengan demikian banyak sedikitnya
tema minor tergantung pada banyak sedikitnya makna tambahan yang dapat
ditafsirkan dari sebuah cerita novel.
3.
Tema
tradisional
Tema tradisional adalah hal-hal yang daianggap otomatis
terjadi sendiri di masyarakat. Pernyataan-pernyataan tema yang dapat dipandang
sebagai bersifat itu misalnya berbunyi, “ Kebenaran dan keadilan mengalahkan
kejaahatan, tindak kebenaran dan masing-masing akan memetik hasilnya (Jawa;
becik ketitik ala ketara), atau (seperti pepatah- pantun) berakit-rakit kehulu
berenang-renang ketepian, setelah menderita, orang baru mengingat Tuhan ”, dsb.
Tema tradisional walau banyak variasinya, boleh dikatakan selalu ada kaitanya
dengan masalah kebenaran dan kejahatan (Maredith
& fizgerald, 1972;66).
4.
Tema
non tradisional
Tema non tradisional adalah tema yang menyangkut sesuatu
yang tidak lazim/non tradisional. Karena sifatnya yang non tradisional, tema
yang demikian mungkin tidak sesuai dengan harapan pembaca, juga bersifat
melawan arus, mengejutkan, bahkan boleh jadi mengesalkan, mengecewakan, atau
berbagai reaksi afektif yang lain.
D.
Tingkatan Tema Menurut Shipley
Tingkat
pertama
Tema tingkat fisik, manusia sebagai (atau: dalam tingkat
kejiwaan) molekul. Tema karya sastra pada tingkat ini lebih banyak menyaran dan
ditunjukkan oleh banyaknya aktivitas fisik daripada kejiwaannya. Ia lebih
menekankan mobilitas fisik dari pada kejiwaannya.
Tingkat
kedua
Tema tingkat organik, manusia sebagai (atau: dalam
tingkat kejiwaanya) protoplasma. Tema karya sastra tingkat ini lebih banyak
menyangkut dan mempersoalkan masalah seksualitas. Suatu aktivitas yang hanya
dapat dilakukan oleh makhluk hidup.
Tingkat
ketiga
Tema tingkat sosial, manusia sebagai makhluk sosial.
Kehidupan bermasyarakat yang merupakan tempat aksi-interaksinya manusia dengan
sesama dan lingkungan alam, mengandung banyak permasalahan, konflik, dan
lain-lain yang menjadi objek pencarian tema.
Tingkat
keempat
Tema tingkat egoik, manusia sebagai individu. Disamping sebagai
makhluk sosial, manusia sekaligus juga sebagai makhluk individu yang senantiasa
“menuntut” pengakuan atas hak individualitasnya
Tingkat kelima
Tema tingkat divine, manusia sebagai makhluk tingkat
tinggi, yang belum tentu setiap manusia mengalami dan atau mencapainya. Masalah
yang menonjol dalam tema tingkat ini adalah masalah hubungan manusia dengan
sang pencipta, masalah religiositas, atau berbagai masalah yang bersifat
filosofis lainnya seperti pandangan hidup, visi, dan keyakinan.
Tema dalam sebuah karya sastra selalu berkaitan dengan
makna atau pengalaman kehidupan, melalui karyanya. Pengarang menawarkan makna
tentang kehidupan, mengajak pembaca
melihat, merasakan dan menghayati makna kehidupan tersebut dengan cara
memandang permasalahan tersebut sebagaimana ia memandangnya. Tema dapat
dipandang sebagai dasar cerita, gagasan dasar umum, sebuah karya novel. Gagasan
umum inilah yang tentunya telah ditentukan sebelumya oleh pengarang yang
dipergunakan untuk mengembangkan sebuah cerita.
ALUR
A. PENGERTIAN ALUR
Yaitu rangkaian peristiwa yang menggerakkan cerita untuk mencapai efek
tertentu. Banyak anggapan keliru mengenai plot. Sementara orang
menganggap plot adalah jalan cerita. Dalam pengertian umum, plot adalah suatu
permufakatan atau rancangan rahasia guna mencapai tujuan tertentu.
Rancangan tentang tujuan itu bukanlah plot, akan tetapi semua aktivitas untuk
mencapai yang diinginkan itulah plot.
Atau, secara lebih gamblang plot adalah –menurut Aswendo Atmowiloto-
sebab-akibat yang membuat cerita berjalan dengan irama atau gaya dalam
menghadirkan ide dasar.
Semua peristiwa yang terjadi di dalam cerita pendek harus berdasarkan hukum
sebab-akibat, sehingga plot jelas tidak mengacu pada jalan cerita, tetapi
menghubungkan semua peristiwa. Sehingga Jakob Sumardjo dalam Seluk-beluk
Cerita Pendek menjelaskan tentang plot dengan mengatakan, “Contoh
populer menerangkan arti plot adalah begini: Raja mati. Itu disebut jalan cerita. Tetapi raja mati
karena sakit hati, adalah plot.”
Dalam cerpen biasanya digunakan plot ketat
artinya bila salah satu kejadian ditiadakan jalan cerita menjadi terganggu dan
bisa jadi, tak bisa dipahami. Adapun jenis plot bisa disederhanakan menjadi
tiga jenis, yaitu:
1. Plot keras, jika akhir cerita meledak keras di luar dugaan
pembaca. Contohnya: cerpen-cerpen Anton
Chekov, pengarang Rusia legendaris, cerpen-cerpen Trisnoyuwono yang
terkumpul dalam Laki-laki dan Mesiu, cerpen-cerpen Subagio
Sastrowardoyo dalam kumpulannya Kejantanan di Sumbing.
2. Plot lembut, jika
akhir cerita berupa bisikan, tidak mengejutkan pembaca, namun tetap disampaikan
dengan mengesan sehingga seperti terus tergiang di telinga pembaca. Contoh,
cerpen Seribu Kunang-kunang di Manhattan karya Umar Kayam,
cerpen-cerpen Danarto dalam Godlob, dan hampir semua cerpen Guy
de Maupassant, pengarang Perancis menggunakan plot berbisik.
3. Plot lembut-meledak, atau plot meledak-lembut adalah campuran plot keras dan
lembut. Contoh: cerpen Krawang-Bekasi milik Gerson Poyk, cerpen Bulan
Mati karya R. Siyaranamual, dan cerpen Putu Wijaya berjudul Topeng
bisa dimasukkan di sini.
Adapun jika kita melihat sifatnya, maka ada cerpen dengan plot
terbuka, plot tertutup dan cempuran keduanya. Jadi sifat plot ada kalanya:
1. Terbuka. Jika akhir cerita merangsang
pembaca untuk mengembangkan jalan cerita, di samping masalah dasar persoalan.
2. Tertutup. Akhir cerita tidak merangsang
pembaca untuk meneruskan jalan cerita. Contoh Godlobnya Danarto.
3. Campuran keduanya.
B. KAIDAH ALUR
1.
Peristiwa.
Peristiwa adalah peralihan dari satu
keadaan ke keadaan yang lain. Perstuwa sendiri dibedakan menjadi:
Ø
Peristiwa
fungsional adalah peristiwa-peristiwa yang menentukkan dan mempengaruhi
perkembangan alur. Urutan peristiwa fungsional merupakan inti dari cerita
sebuah karya fiksi yang bersangkutan jika sejumlah peristiwa fungsional
ditanggalkan maka akan menyebabkan cerita menjadi lain bahkan kurang logis.
Ø
Peristiwa
kaitan adalah peristiwa yang berfungsi mengkaitkan peristiwa penting. Peristiwa
kaitan kurang mempengaruhi pengembangan alur cerita, sehingga seandainya
ditanggalkan pun, tidak akan mempengaruhi logika cerita.
Ø
Peristiwa
acuan adalah peristiwa yang tidak secara langsung berpengaruh atau berhubungan
dengan perkembangan alur melainkan mengacu pada unsur-unsur yang lain.
2.
Konflik.
Kaidah alur adalah kejadian yang
tergolong penting atau hal yang menyebabkan tokoh menjadi tidak enak. Konflik
terdiri dari:
Ø
Konflik
eksternal adalah konflik yang terjadi antara seorang tokoh dengan sesuatu yang
di luar dirinya, mungkin dengan lingkungan alam dan manusia.
Ø
Konflik
fisik adalah konflik antara tokoh dengan alam.
Ø
Konflik
internal adalah konflik yang ada dalam diri tokoh.
3.
Klimaks.
Klimaks adalah peristiwa yang membawa
perubahan nasib dari tokoh. Klimaks terdiri dari:
Ø
Plausibilitas
adalah sesuatu hal yang dapat dipercaya sesuai dengan logika cerita.
Ø
Tegangan
adalah dibuat oleh pengarang agar pembaca mempunyai rasa ingin tahu.
Ø
Surprise
adalah sesuatu yang bersifat mengejutkan jika sesuatu yang dikisahkan atau kejadian
yang ditampilkan menyimpang.
Ø
Kepaduan
adalah unsur yang ditampilkan, khususnya peristiwa fungsional, kaitan dan acuan
memiliki keterkaitan satu sama lain.
C. TAHAPAN
ALUR
1. Tahapan awal.
Tahapan
awal adalah tahap permulaan dari sebuah cerita biasanya disebut tahap
perkenalan yang berisi sejumlah informsi penting yang berkaitan dengan berbagai
hal yang akan dikisahkan pada tahap berikutnya. Misalnya berupa pengenalan
latar, pengenalan tokoh. Fungsi pokok tahap awal adalah untuk memberikan
informasi dan penjelasan seperlunya khususnya yang berkaitan dengan pelataran
dan penokohan.
2. Tahap tengah.
Tahap
tengah menampilkan pertentangan atau konflik yang sudah mulai pada tahap
sebelumnya, menjadi semakin meningkat, dan semakin menegangkan.
3. Tahap akhir.
Tahap
akhir adalah tahap akhir sebuah cerita, atau dapt juga disebut sebagai tahap
pelarian, menampilkan adegan tertentu sebagai akibat klimaks. Bagian ini berisi
bagaimana kesudahan cerita, atau menyaran pada hal bagaimanakah akhir sebuah
cerita.
D. PEMBEDAAN
ALUR
1. Berdasarkan kriteria waktu.
Dibedakan
menjadi dua yaitu kronologis dan tidak kronologis. Yang kronologis disebut juga
alur lurus, maju atau dapat disebut juga progresif. Sedangkan yang kedua yang
tidak kronologis disebut juga sorot balik, mundur atau regresif.
Ø
Alur
lurus adalah alur yang dimulai dari depan atau awal.
Ø
Alur
flashback adalah alur yang tidak harus dimulai dari awal cerita.
2. Berdasarkan kriteria jumlah.
Ø
Alur
tunggal didalam cerita hanya menceritakan satu orang tokoh.
Ø
Sub
alur didalam sebuah cerita menceritakan banyak tokoh.
3. Berdasarkan kriteria kepadatan.
Ø
Alur
padat adalah menceritakan satu tokoh dalam satu cerita. Peristiwa fungsional
menyusul dengan cepat, hubungan antar peristiwa terjalin secara erat dan
pembaca seolah-olah dipaksa untuk terus menggelutinya.
Ø
Alur
longgar adalah pergantian peristiwa berlangsung lambat disamping hubungan antar
peristiwa tersebut tidaklah erat benar.
4. Berdasarkan kriteria isi.
Ø
Alur
peruntungan adalah alur yang alur yang berhubungan dengan cerita yang
mengungkapkan nasib, peruntungan yang menimpa tokoh utama cerita yang
bersangkutan.
Ø
Alur
tokohan adalah alur tokohan yang menyaran adanya sifat pementungan tokoh yang
menjadi pusat perhatian.
Ø
Alur
pemikiran mengungkapkan sesuatu yang menjadi bahan pemikiran, keinginan, perasaan
berbagai macam obsesi dan lain hal yang menjadi masalah hidup dan kehidupan
manusia.
PENOKOHAN
A. Pengertian
Penokohan
1.
Penokohan
adalah pelukisan gambaran yang jelas tentang seseorang yang ditampilkan dalam
sebuah cerita.
2.
Penokohan
adalah peran yang ditampilkan oleh pemain yang menggambarkan watak-watak
tertentu dalam suatu cerita. Jones (1968: 33).
3.
Penokohan
adalah orang-orang yang ditampilkan dalam suatu karya naratif, atau drama, yang
oleh pembaca ditafsirkan memiliki kualitas moral dan kecenderungan tertentu
seperti yang diekspresikan dalam ucapan dan apa yang dilakukan dalam tindakan.
Abrams (1981: 20).
4.
Penokohan
adalah cara pengarang menampilkan watak-watak pelaku dalam cerita. Pelaku dalam
cerita dapat berupa manusia, binatang atau benda-benda mati yang diinsankan.
5.
Penokohan
adalah pengeksploran terhadap watak-watak, yang digambarkan dalam cerita dan
dituangkan melalui jiwa pemeran.
6.
Penokohan
adalah gambaran mengenai watak-watak seseorang yang ada dalam cerita dan
ditransfer kedalam jiwa pemeran kemudian dieksplor dengan cara sendiri.
B. Macam-Macam
Tokoh
1. Berdasarkan
peran tokoh dalam
pengembangan plot:
a)
Tokoh
utama
Yaitu
pelaku yang memegang peran utama, dan yang terpenting dalam sebuah cerita.
Pelaku ini sering muncul hampir pada setiap satuan kejadian, dari eksposisi
sampai dengan penyelesaian.
b)
Tokoh
pembantu
Yaitu
pelaku yang bertugas membantu pelaku utama dalam rangkaian mata rantai cerita.
c)
Tokoh
protogonis
Yaitu pelaku yang memegang watak tertentu yang memegang ide kebenaran.
Pelaku protagonis menjadi pusat cerita dan menjadi idola pembaca.
d)
Tokoh
antagonis
Yaitu
pelaku yang menentang pelaku protogonis sehingga terjadi konflik dalam cerita.
e)
Tokoh
tritagonis
Yaitu
pelaku yang menjadi penengah antara pelaku protogonis dan antagonis. Pelaku
tritagonis biasanya muncul sebagai tokoh yang dapat membantu menyelesaikan
konflik dalam cerita.
2. Tokoh
berdasarkan perwatakannya
dibedakan menjadi:
a.
Tokoh
sederhana.
Tokoh
sederhana, dalam bentuknya yang asli, adalah tokoh yang hanya memiliki satu
kualitas pribadi tertentu atau satu sifat watak tertentu saja. Sebagai seorang
tokoh manusia, ia tak diungkap berbagai kemungkinan sisi kehidupannya. Ia tak
memiliki sifat dan tingkah laku yang dapat memberikan efek kejutan dari
pembaca. Sifatnya monoton, hanya mencerminkan satu watak tertentu. Tokoh
sederhana dapat juga melakukan berbagai tindakan, namun semua tindakannya itu
akan dapat dikembalikan pada perwatakan yang dimiliki dan yang telah
diformulakan itu.
b.
Tokoh
bulat.
Tokoh
bulat adalah tokoh yang memiliki dan diungkap berbagai kemungkinan sisi
kehidupannya, sisi kepribadian dan jati dirinya. Ia dapat juga memiliki wayak
tertentu yang dapat yang dapat diformulasikan, namun ia pun dapat menampilkan
watak dan tingkah laku bermacam-macam, bahkan mungkin seperti bertentangan dan
sulit diduga. Tokoh ini bisa juga disebut juga dengan tokoh kompleks, karena
sulit dipahami, terasa kurang familiar karena yang ditampilkan adalah
tokoh(-tokoh) yang kurang akrab dan kurang dikenal sebelumnya. Tingkah lakunya
sering tak terduga dan memberikan efek kejutan pada pembaca.
3. Berdasarkan
kriteria berkembang atau tidaknya perwatakan dibedakan menjadi:
a.
Tokoh
statis.
Adalah
tokoh cerita yang secara esensial tidak mengalami perubahan dan atau
perkembangan perwatakan sebagai akibat
dari adanya peristiwa-peristiwa yang terjadi. ( Altenbernd & Lewis, 1966:
58). Jika diibaratkan tokoh statis adalah bagaikan batu karang yang tak
tergoyahkan walau tiap hari dihantam dan disayang ombak, tokoh statis memiliki
sikap dan wayak yang relatif tetap, tak berkembang, sejak awal sampai akhir
cerita.
Ø
Tokoh
hitam adalah tokoh yang dikonotasikan sebagai tokoh jahat.
Ø
Tokoh
putih adalah tokoh yang dikonotasikan sebagai tokoh baik.
b.
Tokoh
berkembang.
Adalah
tokoh cerita yang mengalami perubahan dan perkembangan perwatakan sejalan
dengan perkembangan (dan perubahan) peristiwa dan plot yang dikisahkan. Ia
secara aktif berinteraksi dengan lingkungannya, baik lingkungan sosial, alam,
maupun lingkungan yang lain, yang kesemuanya itu akan mempengaruhi sikap,
watak, dan tingkah lakunya.
4.
Berdasarkan kemungkinan tokoh cerita
terhadap (sekelompok) manusia dari kehidupan nyata:
a.
Tokoh
tipikal.
Adalah
tokoh yang hanya sedikit ditampilkan keadaan individualitasnya, dan lebih
banyak ditonjolkan kualitas pekerjaan atau kebangsaannya (Altenbernd &
Lewis, 1966: 60), atau sesuatu yang bersifat mewakili. Tokoh tipikal merupakan
penggambaran, pencerminan, atau penunjukkan terhadap orang, atau sekelompok
orang yang terikat oleh sebuah lembaga atau seorang individu sebagai bagaian
dari suatu lembaga, yang ada di dunia nyata.
b.
Tokoh
netral.
Adalah
tokoh cerita yang bereksistensi demi cerita itu sendiri. Ia benar-benar tokoh
imajiner yang hidup dan bereksistensi dalam dunia fiksi. Ia hadir (atau
dihadirkan) semata-mata demi cerita, atau bahkan dialah sebenarnya empunya
cerita, pelaku cerita, dan yang diceritakan. Kehadirannya tidak berpretensi
untuk mewakili atau menggambarkan sesuatu yang di luar dirinya, seseorang yang
berasal dari dunia nyata atau paling tidak, pembaca mengalami kesulitan untuk
menafsirkannya sebagai bersifat mewakili berhubung kurang ada unsur bukti
pencerminan dari kenyataan di dunia nyata.
C.
Teknik Pelukisan Tokoh
Tokoh
dalam cerita berfungsi sebagai penggerak alur cerita. Cara pengarang
menggambarkan keadaan dan watak tokoh-tokohnya dapat melalui dua jalan, yaitu
cara analitik dan cara dramatik.
1. Cara analitik adalah pengarang
bagaimana menjelaskan secara langsung keadaan dan watak tokoh-tokohnya.
2. Cara dramatik adalah bagaimana cara
pengarang melukiskan watak tokoh-tokohnya secara tidak langsung. Cara dramatik
dapat dilakukan melalui berbagai macam cara yaitu:
a. Teknik perbuatan tokoh.
Perbuatan
seseorang sesungguhnya merupakan perwujudan dari sikap hidup dan watak orang
tersebut. Dalam sebuah cerita biasanya pengarang sering kali memakai tekhnik
ini untuk melukiskan keadaan tokoh-tokoh ceritanya.
b. Teknik tingkah laku.
Teknik
tingkah laku menyaran pada tindakan yang bersifat nonverbal, fisik. Apa yang
dilakukan orang dalam wujud tindakan dan tingkah laku, dalam banyak dapat
dipandangsebagai menunjuk pada reaksi, tanggapan, sifat, dan sikap yang
mencerminkan sifat-sifat kediriannya.
c. Teknik reaksi tokoh lain terhadap
tokoh utama (tokoh lainnya).
Sebagai
makhluk sosial, seseorang tidak mungkin terlepas dari perbincangan orang lain.
Dari perbincangan itu sering dibicarakan watak, tingkah laku, perbuatan dan
sikap tentang diri seeorang. Dalam sebuah cerita pengarang pun kadangkala
memkai reaksi tokoh lain ini untuk melukiskan keadaan tokoh ceritanya.
d. Teknik keadaan sekitar tokoh.
Lingkungan
sekitar tokoh berpengaruh terhadap diri seseorang atau sebaliknya, lingkungan
seseorang tunggal itu sebenarnya manivestasi dari watak orang tersebut. Seorang
pengarang sering juga melukiskan watak tokoh dengan menguraikan keadaan sekitar
tokoh.
e. Teknik pikiran dan perasaan tokoh.
Melalui
jalan pikiran dan perasaan seseorang kita akan dapat mengetahui watak tokoh
orang tersebut. Dalam cerita pengarang dapat juga melukiskan watak tokoh
cerita dengan jalan menggambarkan pikiran dan perasaan tokoh.
f. Teknik arus kesadaran.
Teknik
arus kesadaran (stream of consciousness)
berkaitan erat dengan teknik pikiran dan perasaan. Keduanya tak dapat dibedakan
secara pilah, bahkan mungkin dianggap sama karena memang sama-sama tingkah laku
dan batin tokoh. Dawasa ini dalam fiksi modern teknik arus kesadaran dapat
dipergunakan untuk melukiskan sifat-sifat kedirian tokoh. Arus kesadaran
merupakan sebuah teknik narasi yang berusaha menangkap pandangan dan aliran
proses mental tokoh, dimana tanggapan indera bercampur dengan kesadaran
pikiran, perasan, ingatan, harapan, dan asosiasi-asosiasi acak (Abrams, 1981:
187).
g. Teknik pelukisan fisik.
Keadaan fisik
seseorang sering berkaitan dengan keadaan jiwanya, atau paling tidak, pengarang
sengaja mencari dan menghubungkan adanya pertentangan itu. Misalnya, bibir
tipis menyaran pada sifat ceriwis dan bawel, rambut lurus menyaran pada sifat
tak mau mengalah, pandangan mata tajam, hidung agak mendongak, bibir yang
bagaimana dan lain-lain yang dapat menyaran pada sifat-sifat tertentu. Dan tentu
saja hal tersebut berkaitan dengan pandangan (budaya) masyarakat yang bersangkutan.
D.
Cara Menentukkan Tokoh atau Mencari
Tokoh
1.
Melalui
casting.
Jika
kita ingin mencari seorang tokoh khususnya dalam drama atau film sebaiknya kita
melalui casting atau seleksi. Biasanya sutradara memberi skenario dan peserta
disuruh memperagakan adegan yang nantinya akan dipentaskan tersebut dengan
mengeksplornya sendiri.
2.
Dalam
novel kita menggunakan identifikasi tokoh.
Untuk
mengenali secara lebih baik tokoh-tokoh cerita, kita perlu mengidentifikasi
kedirian tokoh(-tokoh) itu secara cermat. Proses usaha identifikasi itu,
tampaknya, akan sejalan dengan usaha pengarang dalam mengembangakan tokoh.
Usaha pengidentifikasian yang dimaksud adalah melalui prinsip-prinsip sebagai
berikut:
a. Prinsip pengulangan.
Tokoh cerita
yang belum kita kenal, akan menjadi kenal dan akrab jika kita dapat menemukan
dan mengidentifikasi adanya kesamaan sifat, sikap, watak, dan tingkah laku pada
bagaian-bagaian selanjutnya. Prinsip pengulangan, karenanya, penting untuk
mengembangkan dan mengungkapkan kedirian tokoh cerita (Luxemburg dkk, 1992:
139).
b. Prinsip pengumpulan
Seluruh
kedirian tokoh diungkapkan sedikit demi sedikit dalam seluruh cerita. Usaha
pengidentifikasian tokoh, dengan, demikian, dapat dilakukan dengan mengumpulkan
data-data kedirian yang “tercecer” diseluruh cerita tersebut, sehingga akhirnya
diperoleh data yang lengkap. Pengumpulan data ini penting, sebab data-data
kedirian yang berserakan itu dapat digabungkan sehingga bersifat saling
melengkapi dan menghasilkan gambaran yang padu tentang kedirian tokoh yang
bersangkutan (Luxemburg dkk, 1992: 140).
c. Prinsip kemiripan dan pertentangan.
Identifikasi
tokoh yang mempergunakan prinsip kemiripan dan pertentangan dilakukan dengan
memperbandingkan antara seorang tokoh dengan tokoh lain dari cerita fiksi yang
bersangkutan. Seorang tokoh mungkin saja memiliki sifat kedirian yang mirip
dengan orang lain, namun tentu saja ia memiliki perbedaan-perbedaan. Dan ada
kalanya kedirian seorang tokoh baru tampak secara lebih jelas setelah berada
dalam pertentangannya dengan tokoh lain. Sebelum memperbandingkan masalah adanya kemiripan dan pertentangan antar
tokoh, terlebih dahulu kita menyeleksi data-data kedirian masing-masing tokoh
tersebut. Artinya, sebelumnya kita haruslah telah mengidentifikasi perwatakan
tokoh dengan mempergunakan prinsip pengulangan dan pengumpulan diatas. Hal itu
disebabkan kita tak perlu membandingkan semua data kedirian tokoh, melainkan terbatas
pada hal-hal yang memang mengandung unsur kemiripan dan pertentangan, sekaligus
yang merupakan ciri-ciri menonjol.
LATAR ATAU
SETTING
A.
PENGERTIAN LATAR ATAU SETTING
Latar merupakan background sebuah cerita,
tempat kejadian, daerah penuturan atau wilayah yang melingkupi sebuah cerita.
Sebuah cerita pada
hakikatnya ialah peristiwa atau kejadian yang menimpa atau dilakukan oleh satu
atau beberapa orang tokoh pada suatu waktu tertentu dan pada tempat tertentu.
1. Menurut Nadjid
(2003:25) latar ialah penempatan
waktu dan tempat beserta lingkungannya dalam prosa fiksi.
2. Menurut
Nurgiyantoro (2004:227—233) unsur latar dapat dibedakan ke dalam tiga unsur pokok,
antara lain sebagai berikut. Berhadapan dengan karya fiksi, pada hakikatnya
kita berhadapan dengan sebuah dunia, dunia dalam kemungkinan, sebuah dunia yang
sudah dilengkapi dengan tokoh penghuni dan permasalahan. Namun tentu saja, hal
itu kurang lengkap sebab tokoh dengan berbagai pengalaman hidupnya itu
memerlukan ruang lingkup, tempat dan waktu, sebagaimana halnya kehidupan
manusia di dunia nyata. Dengan kata lain, fiksi sebagai sebuah dunia, disamping
membutuhkan tokoh, alut, dan plot juga perlu yang namanya latar.
3. Latar adalah tempat, waktu atau keadaan
terjadinya peristiwa (Nur Faizah 1998: 77)
4. Latar adalah
suasana untuk memperjelas satuan peristiwa dalam suatu cerita agar menjadi
logis.
5. Latar yang
disebut juga sebagai landas tumpu, meyaran kepada pengertian tempat, hubungan
waktu, dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan
(Abrams, 1981:175). Stanton (1965) mengelompokkan latar, bersama dengan
tokoh dan plot, ke dalam fakta atau cerita sebab ketiga hal inilah yang akan
dihadapi, dan dapat diimajinasi oleh pembaca secara faktual jika membaca cerita
fiksi. Atau, ketiga hal inilah yang secara konkret dan langsung membentuk
cerita: tokoh cerita adalah pelaku dan penderita kejadian kejadian yang
bersebab akibat, dan itu perlu pijakan, di mana dan kapan. Misalnya, dalam
Bawuk karya Umar Kayam yang dengan tokoh utama Bawuk, cerita terjadi di
Karangrandu, waktu sejak zaman penjajahan Belanda dan terutama sekitar masa
pemberontakan G-30-S/PKI, lingkungan social Jawa kelas menengah atas.
Tahap awal karya
fiksi pada umumnya brisi penyituasian, pengenalan terhadap yang diceritakan
misalnya, pengenalan tokoh, pelukisan keadaan alam, lingkungan suasana, tempat,
mungkin juga hubungan waktu dan lain-lain yang dapat menuntun pembaca secara
emosional kepada suatu cerita.
Latar Fisik Dan
Spritual. Membaca sebuah novel kita akan bertemu dengan lokasi tertentu
seperti; nama kota, jalan, rumah, dan lain-lain tempat terjadinya pristiwa.
Disamping itu, kita juga berurusan dengan hubungan waktu seperti; malam, siang,
pukul, tanggal, keadaan geografis, atau kejadian yang menyaran pada waktu tipikal
tertentu dan sebagainya.
Latar atau
setting dalam fiksi bukan hanya sekedar background, artinya bukan hanya
menunujukan tempat kejadian dan kapan terjadinya. Sebuah cerpen atau novel
memang harus terjad di suatu tempat. Harus ada tempat dan ruang kejadian. Dalam
fiksi lama tempat kejadian cerita dan tahun-tahun terjadinya disebutkan panjang
lebar oleh penulisnya. Dan disitu setting hanya sekedar tempat terjadinya.
Pengarang
merupakan anggota yang hidup dan berhubungan dengan orang- orang yang berada disekitarnya,
maka dalam proses penciptaan karya sastra seorang pengarang tidak terlepas dari
pengaruh lingkungannya. Oleh karena itu karya sastra yang lahir ditengah-tengah
masyarakat merupakan hasil pengungkapan jiwa pengarang tentang kehidupan,
peristiwa, serta pengalaman hidup yang telah dihayatinya.
Sebagai anggota masyarakat,
pengarang dalam menciptakan suatu karya sastra mencerminkan kondisi
masyarakatnya. Oleh karena itu, sebuah karya sastra tidak pernah
berangkat dari kekosongan sosial. Artinya karya sastra tersebut ditulis
berdasarkan kehidupan sosial masyarakat tertentu dan menceritakan
kebudayaan-kebudayaan yang melatarbelakanginya.
B. PENGERTIAN LATAR BERDASARKAN FUNGSINYA
Dari sisi fungsinya latar sebagai pembangkit tanggapan atau suasana tertentu dalam suatu cerita. Fungsi latar yang dimaksud adalah fungsi latar sebagai metafor dan dan latar sebagai atmosfir.
Dari sisi fungsinya latar sebagai pembangkit tanggapan atau suasana tertentu dalam suatu cerita. Fungsi latar yang dimaksud adalah fungsi latar sebagai metafor dan dan latar sebagai atmosfir.
a) Latar Sebagai Metafor
Penggunaan istilah metafor
mengarah pada suatu perbandingan yang mungkin berupa sifat keadaan, suasana ataupun
sesuatu yang lain. secara prinsip metafor merupakan cara memandang atau
menerima melalui sesuatu yang lain.
b) Latar Sebagai Atmosfir
Latar yang secara langsung
menyihir pembaca membawanya kepada suasana tertentu, seperti suasana sedih,
marah, muram, seram, dan sebagainya. Hal ini sangat penting karena disinilah
kecerdasan para penulis menciptakan penyituasian yang dapat menarik pembaca
terhanyut dalam suasana yang terterah dalam suatu karya sastranya.
Nurgiyantoro, Burhan. 1995. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Aminuddin. 2002. Pengantar
Apresiasi Karya Sastra. Bandung: Sinar Baru Algesindo.
Nurgiyantoro,
Burhan. 2005. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gajah
Mada University Press.
Gaja Mada University Press.
C.
JENIS-JENIS LATAR
1. Latar
Tempat.
Latar tempat menggambarkan lokasi
terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam sebuah cerita. Penggambaran latar
tempat ini hendaklah tidak bertentangan dengan realita tempat yang
bersangkutan, hingga pembaca (terutama yang mengenal tempat tersebut) menjadi tidak
yakin dengan apa yang kita sampaikan. Kecuali kalau kita memang ingin
menciptakan tempat yang benar-benar fiktif seperti novel saya, Bayangan
Lenggini. Kok contohnya karya saya lagi, ya? Hehe biasa, demi menghindari
resiko jika salah menyebutkan karya orang lain. Atau promosi? Ah, itu pastilah!
2. Latar
Waktu
Latar Waktu menggambarkan kapan
sebuah peristiwa itu terjadi. Dalam sebuah cerita sejarah, hal ini penting
diperhatikan. Sebab waktu yang tidak konsisten akan menyebabkan rancunya
sejarah itu sendiri. Latar waktu juga meliputi lamanya proses penceritaan. Nah,
kalau ini contoh yang tepat adalah novel Titip Rindu Buat Ibu. Karya siapa? Ya
pastinya Novia Syahidah dong, hihi… Itu kan novel. Cerpen? Ada kok cerpen yang
menceritakan kisah si Tokoh dari lahir sampai meninggal, ada juga yang hanya
menceritakan peristiwa selama satu malam, satu jam, bahkan bisa juga lebih
singkat dari itu.
3. Latar
Sosial
Latar sosial mencakup hal-hal yang
berhubungan dengan kondisi tokoh atau masyarakat yang diceritakan dalam sebuah
cerita. Termasuk di dalamnya adat istiadat, keyakinan, perilaku, budaya, dan
sebagainya. Latar sosial sangat penting diketahui secara benar sebagaimana
latar tempat, sebab hal ini berkaitan erat dengan nama, bahasa dan status tokoh
dalam cerita.
4. Latar
Emosional
Latar emosional lebih sering muncul
saat membangun konflik, hingga ia memiliki peran yang sangat penting dalam
sebuah cerita. Ada cerita yang secara keseluruhan hanya bercerita tentang
konflik emosi seorang tokoh, hingga latar cerita pun total berupa emosi. Latar
emosi ini biasanya terbaca melalui dialog-dialog, perenungan dan kecamuk
perasaan si Tokoh
5.
Latar Netral Dan Tipikal
a. Latar netral tidak memiliki dan tidak mendiskripsikan sifat khas tertentu yang menonjol yang terdapat dalam sebuah latar, sesuatu yang mungkin dapat membedakannya dengan latar-latar lain. Sifat yang ditunjukan latar tersebut lebih bersifat umum terhadap hal yang sejenis misalnya, desa, kota hutan, pasar, sehingga hal tersebut dapat berlaku dimana saja.
b. Latar tipikal memiliki dan menonjolkan sifat yang khas latar tertentu. Misalnya pada saat membaca Pengakuan Pariyem kita akan merasakan dominannya lingkungan social yang yang digambarkan, yaitu lingkungan masyarakat jawa. Dengan maksud agar pembaca terkesan dan dapat membandingkannya bahwa karya tersebut benar adanya dengan kenyataan realitisnya.
a. Latar netral tidak memiliki dan tidak mendiskripsikan sifat khas tertentu yang menonjol yang terdapat dalam sebuah latar, sesuatu yang mungkin dapat membedakannya dengan latar-latar lain. Sifat yang ditunjukan latar tersebut lebih bersifat umum terhadap hal yang sejenis misalnya, desa, kota hutan, pasar, sehingga hal tersebut dapat berlaku dimana saja.
b. Latar tipikal memiliki dan menonjolkan sifat yang khas latar tertentu. Misalnya pada saat membaca Pengakuan Pariyem kita akan merasakan dominannya lingkungan social yang yang digambarkan, yaitu lingkungan masyarakat jawa. Dengan maksud agar pembaca terkesan dan dapat membandingkannya bahwa karya tersebut benar adanya dengan kenyataan realitisnya.
Penekanan Unsur Latar
Penekanan unsur-unsur latar bermaksud memperjelas suatu cerita baik itu dari gaya bahasa, karakter tokoh, geografis, social budaya, dan sebagainya. Sehingga membuat pembaca mejadi lebih pekah atau lebih memahami bahan bacaannya.
Penekanan unsur-unsur latar bermaksud memperjelas suatu cerita baik itu dari gaya bahasa, karakter tokoh, geografis, social budaya, dan sebagainya. Sehingga membuat pembaca mejadi lebih pekah atau lebih memahami bahan bacaannya.
Latar Dan Unsur Fiksi Yang Lain
Latar sangat erat kaitannya dengan unsur fiksi yang lain dan bersifat timbal balik. Sifat-sifat latar dalam banyak hal akan mempengaruhi sifat-sifat tokoh. Bahkan bisa dikatakan bahwa sifat seseorang dibentuk oleh latarnya. Suatu contoh bisa kita lihat pada perbedaan sosial budaya, pola pikir, tingakah laku dan yang lainya pada setiap tokoh.
Latar sangat erat kaitannya dengan unsur fiksi yang lain dan bersifat timbal balik. Sifat-sifat latar dalam banyak hal akan mempengaruhi sifat-sifat tokoh. Bahkan bisa dikatakan bahwa sifat seseorang dibentuk oleh latarnya. Suatu contoh bisa kita lihat pada perbedaan sosial budaya, pola pikir, tingakah laku dan yang lainya pada setiap tokoh.
UNSUR
LATAR
Melalui analisis terhadap latar, seseorang dapat mengetahui bagaimana keadaan, pekerjaan, dan status sosial para tokoh. Seringkali latar juga berhubungan erat dengan nasib seorang tokoh dalam sebuah teks. Artinya lingkungan sekitar kerap memberikan efek secara langsung terhadap apa yang dikerjakan seorang pelaku. Ketika hujan dan seorang tokoh sedang berjalan, maka ia akan mencari tempat berteduh dan jika ia mempunyai payung maka ia akan segera menembus hujan. Tapi bila tidak sangat mngkin ia akan melakukan interaksi dengan orang yang juga tengah berteduh.
Secara umum latar dibagi dalam:
a. latar tempat
Latar tempat ialah tempat atau daerah terjadinya sebuah peristiwa dalam cerita. Sangat mungkin latar tempat sebuah karya fiksi terdapat di dalam ruangan dan tidak menutup kemungkinan latar tempat terjadi di ruang lingkungan. Di jalanan atau di sebuah kota misalnya.
Melalui analisis terhadap latar, seseorang dapat mengetahui bagaimana keadaan, pekerjaan, dan status sosial para tokoh. Seringkali latar juga berhubungan erat dengan nasib seorang tokoh dalam sebuah teks. Artinya lingkungan sekitar kerap memberikan efek secara langsung terhadap apa yang dikerjakan seorang pelaku. Ketika hujan dan seorang tokoh sedang berjalan, maka ia akan mencari tempat berteduh dan jika ia mempunyai payung maka ia akan segera menembus hujan. Tapi bila tidak sangat mngkin ia akan melakukan interaksi dengan orang yang juga tengah berteduh.
Secara umum latar dibagi dalam:
a. latar tempat
Latar tempat ialah tempat atau daerah terjadinya sebuah peristiwa dalam cerita. Sangat mungkin latar tempat sebuah karya fiksi terdapat di dalam ruangan dan tidak menutup kemungkinan latar tempat terjadi di ruang lingkungan. Di jalanan atau di sebuah kota misalnya.
b. Latar Waktu
Latar waktu ialah waktu terjadinya sebuah peristiwa dalam cerita. Latar waktu bisa berupa detik, menit, jam, jari, minggu, bulan, tahun, dan seterusnya. Tetapi juga sangat mungkin pengarang tida menentukan secara persis tahun, tanggal atau hari terjadinya peristiwa, namun hanya menyebutkan saat Hari Raya, Natal, tahun baru dan sebagainya yang pada akhirnya juga akan engacu kepada waktu seperti tanggal dan bulan tergantung latar tempat dalam cerita. Misalnya tahun baru di Indonesia identik dengan 1 Januari, namun di Arab tahun baru lebih identik pada 1 Muharram.
Latar waktu ialah waktu terjadinya sebuah peristiwa dalam cerita. Latar waktu bisa berupa detik, menit, jam, jari, minggu, bulan, tahun, dan seterusnya. Tetapi juga sangat mungkin pengarang tida menentukan secara persis tahun, tanggal atau hari terjadinya peristiwa, namun hanya menyebutkan saat Hari Raya, Natal, tahun baru dan sebagainya yang pada akhirnya juga akan engacu kepada waktu seperti tanggal dan bulan tergantung latar tempat dalam cerita. Misalnya tahun baru di Indonesia identik dengan 1 Januari, namun di Arab tahun baru lebih identik pada 1 Muharram.
c. Latar Sosial
Latar sosial ialah lingkungan hidup dan sistem kehidupan yang ada di tengah-tengah para tokoh dalam sebuah cerita. Pada umumnya latar sosial berhubungan erat dengan tiga latar lainnya. Misalnya seorang mahasiswa umumnya tinggal di kos dan hanya memiliki dua buah gelas di kamarnya dan seseorang bisa dipastikan menduduki kelas sosial yang tinggi dalam sistem kehidupan bila ia memiliki sopir dan pergi dengan alat transportasi mobil BMW.
d. Latar Alat
Latar alat ialah benda-benda yang digunakan tokoh dalam sebuah cerita dan berhubungan dengan suatu lingkungan kehidupan tertentu. Misalnya laptop, pena, buku catatan, KTM merupakan alat-alat yang khas dimiliki mahasiswa.
Latar sosial ialah lingkungan hidup dan sistem kehidupan yang ada di tengah-tengah para tokoh dalam sebuah cerita. Pada umumnya latar sosial berhubungan erat dengan tiga latar lainnya. Misalnya seorang mahasiswa umumnya tinggal di kos dan hanya memiliki dua buah gelas di kamarnya dan seseorang bisa dipastikan menduduki kelas sosial yang tinggi dalam sistem kehidupan bila ia memiliki sopir dan pergi dengan alat transportasi mobil BMW.
d. Latar Alat
Latar alat ialah benda-benda yang digunakan tokoh dalam sebuah cerita dan berhubungan dengan suatu lingkungan kehidupan tertentu. Misalnya laptop, pena, buku catatan, KTM merupakan alat-alat yang khas dimiliki mahasiswa.
e. Anakronisme
Ketidaksesuaian dengan urutan perkembangan waktu dalam sebuah cerita. Seperti, ketidaksesuaian antara waktu cerita dengan waktu sejarah biasanya menggunakan dua waktu yang berbedah dalam masa berlakunya dalam satu waktu pada sebuah karya fiksi. Penyebab anakronisme berupa masuknya “waktu” lampau ke dalam cerita yang berlatar waktu kini, atau sebaliknya masuknya waktu masa “kini” ke dalam cerita yang berlatar waktu lampau. Waktunya bisa berupa situasi, keadaan tempat, budaya, benda-benda tertentu, nama, bahkan juga bahasa, yang hanya dimiliki oleh atau telah dimiliki pada waktu tertentu.
Ketidaksesuaian dengan urutan perkembangan waktu dalam sebuah cerita. Seperti, ketidaksesuaian antara waktu cerita dengan waktu sejarah biasanya menggunakan dua waktu yang berbedah dalam masa berlakunya dalam satu waktu pada sebuah karya fiksi. Penyebab anakronisme berupa masuknya “waktu” lampau ke dalam cerita yang berlatar waktu kini, atau sebaliknya masuknya waktu masa “kini” ke dalam cerita yang berlatar waktu lampau. Waktunya bisa berupa situasi, keadaan tempat, budaya, benda-benda tertentu, nama, bahkan juga bahasa, yang hanya dimiliki oleh atau telah dimiliki pada waktu tertentu.
Nursasongko, Pekik. 8 Januari 2008. Analisis Latar Pada
Cerpen (online)
(www.AnalisisLatarPadaCerpenPekikNursasongko.htm) diakses 05-Mei-2009
(www.AnalisisLatarPadaCerpenPekikNursasongko.htm) diakses 05-Mei-2009
D.
CARA MENENTUKAN LATAR ATAU SETTING
Dalam menentukan setting,
dapat dilakukan dengan cara:
- Biografi Karakter
Menjelaskan secara singkat latar belakang, kepribadian, hubungan si tokoh
dengan beberapa tokoh/karakter kunci lain yang berperan didalamnya. Menuliskan
ini akan membantu menemukan apa yang dimiliki oleh tiap-tiap karakter dalam
satu tempat.
- Atribut Karakter
Atribut atau pelengkap disini bisa jadi adalah secara fisik, emosi,
intelektual, dan sosial. Atribut secara psikologis tidak dituliskan karena hal
tersebut akan ditemukan dibagian emosi.
- Deskripsi Tempat
Dalam sebuah cerita, kita dapat memberikan deskripsi/gambaran suatu tempat
yang berbeda-beda pada banyak adegan yang mempunyai hubungan tempat dan
karakter.
Nurgiyantoro,
Burhan. 1995. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gaja
Mada University Press.
http://semuamasalah007.blogspot.com/2009/01/macam-macam-latarsetting.html
SUDUT PANDANG
PENGERTIAN
SUDUT PANDANG (POINT OF VIEW)
1.
Sudut pandang (point of view) merupakan strategi,
teknik, siasat, yang secara sengaja dipilih pengarang untuk mengemukakan gagasan dan ceritanya.
Segala sesuatu yang dikemukakan dalam karya fiksi memang milik pengarang,
pandangan hidup, dan tafsirannya terhadap kehidupan.
2.
Sudut
pandang merupakan posisi pengarang terhadap peristiwa-peristiwa dalam cerita
sudut pandang (point of view) menyaran pada sebuah cerita yang dikisahkan. (Abrams,
1981;142 .dalam Nurgiyantoro, 2005; 248). Dalam
cerita rekaan sudut pandang dianggap sebagai salah satu unsur fiksi yang
penting dan menentukan.
3.
Sudut pandang merupakan teknik yang dipergunakan
pengarang untuk menemukan dan menyampaikan makna karya artistiknya. Untuk dapat
sampai dan berhubungan dengan pembaca. (Boot, dalam Stevick, 1967:89).
4. Sudut
pandang adalah cara memandang dan menghadirkan tokoh-tokoh cerita dengan
menempatkan dirinya pada posisi tertentu.
5. Sudut pandang merupakan sarana untuk
menyajikan tokoh, tindakan, latar, dan berbagai peristiwayang membentuk cerita
dalam sebuah karya fiksi.
MACAM-MACAM
SUDUT PANDANG
1. Sudut pandang persona orang tokoh cerita”dia”
Dalam
sudut pandang ini narator adalah seorang yang berada di luar cerita yang
menampilkan tokoh-tokoh cerita dengan menyebutkan nama atau kata gantinya ; ia,
dia, mereka.
2. Sudut
pandang persona pertama ”Aku”
Dalam
sudut pandang ini narator adalah seorang ikut terlibat dalam cerita. Ia adalah
si ”Aku” tokoh yang berkisah, mengisahkan kesadaran dirinya. Si ”Aku” tentu
saja mempunyai nama, namun karena ia mengisahkan pengalaman sendiri, nama itu
jarang tersebut. Penyebutan nama si ”Aku” mungkin justru berasal ari ucapan
tokoh lain yang bagi si ”aku” merupakan tokoh ”dia”.
3. Sudut pandang campuran
Pengarang
sudut pandang yang bersifat campuran itu di dalam sebuah cerita rekaan, mungkin
berupa penggunaan sudut pandang persona ketiga dengan teknik ”dia” mahatahu dan
”dia” sebagai pengamat, persona pertama dengan teknik ”aku” sebagai tokoh utama
dan ”aku” tambahan, bahkan dapat berupa campuran antara persona pertama dan
ketiga, antara ”aku” dan ”dia” sekaligus (Nurgiyantoro, 2005;2006).
4. Sudut pandangan yang berkuasa.
Merupakan
teknik yang menggunakan kekuasaan si pengarang untuk menceritakan sesuatu
sebagai pencipta. Sudut pandangan yang berkuasa ini membuat cerita sangat
informatif. Sudut pandanga ini lebih cocok untuk cerita-cerita bertendens. Para
pujangga Balai Pustaka banyak yang menggunakan teknik ini. Jika tidak hati-hati
dan piawai sudut pandangan berkuasa akan menjadikan cerpen terasa menggurui.
REFERENSI:
Ø Aminuddin.
2002. Pengantar Apresiasi Karya Sastra. Bandung: Sinar Baru Algesindo.
Ø Nurgiyantoro,
Burhan. 2005. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
Ø Hamka. 1970.
Tenggelamnya Kapal
GAYA BAHASA
PENGERTIAN GAYA BAHASA
- Bahasa
adalah cara pengucapan bahasa dalam prosa atau bagaimana seorang pengarang
mengungkapkan sesuatu yang akan dikemukakan.
- Bahasa
adalah alat penyampaian maksud pengarang, dan juga sebagai penyampaian
perasaan.
- Bahasa
adalah bentuk ungkapan yang digunakan oleh pengarang untuk menyampaikan
ceritanya.
- Bahasa
adalah penggunaan perbandingan, menghidupkan benda mati, melukiskan
sesuatu yang tidak sewajarnya oleh pengarang dalam karya fiksi.
- Bahasa
adalah alat atau sarana untuk menyampaikan ide atau gagasan pengarang
dalam sebuah karya fiksi.
JENIS-JENIS GAYA BAHASA
Jenis-jenis gaya bahasa antara lain :
1. Personifikasi
2. Perbandingan Metafora
3. Alegori
4. Perumpamaan
5. Majas Hiperbola
6. Pertentangan Ironi
7. Litotes
8. Metonimia
9. Pertautan Alusio
10. Eufimisme
11. Sinekdok
12. Parsprototo Totemproparte
Statistika : Kajian terhadap wujud performansi kebahasaan, khususnya yang terdapat di dalam karya sastra yang bertujuan untuk menentukan seberapa jauh dan dalam hal apa bahasa yang dipergunakan itu memperlihatkan penyimpangan dan bagaimana pengarang mempergunakan tanda-tanda linguistik untuk memperoleh efek khusus.
2. Perbandingan Metafora
3. Alegori
4. Perumpamaan
5. Majas Hiperbola
6. Pertentangan Ironi
7. Litotes
8. Metonimia
9. Pertautan Alusio
10. Eufimisme
11. Sinekdok
12. Parsprototo Totemproparte
Statistika : Kajian terhadap wujud performansi kebahasaan, khususnya yang terdapat di dalam karya sastra yang bertujuan untuk menentukan seberapa jauh dan dalam hal apa bahasa yang dipergunakan itu memperlihatkan penyimpangan dan bagaimana pengarang mempergunakan tanda-tanda linguistik untuk memperoleh efek khusus.
Ø Unsur gaya bahasa.
1.
Unsur leksikal Mengacu pada pengertian penggunaan
kata-kata tertentu yang sengaja dipilih oleh pengarang.
2.
Unsur gramatikal : Unsur yang menyaran pada pengertian
struktur kalimat.
3.
Retorika : Merupakan suatu cara penggunaan bahasa untuk
memperoleh efek estetis yang dapat diperoleh melalui kreativitas pengungkapan
bahasa yaitu pengarang menyiasati bahasa sebagai sarana untuk mengungkapkan
gagasannya.
4.
Kohesi : Antara bagian kalimat yang satu dengan yang
lain, terdapat hubungan yang bersifat mengaitkan antar bagian kalimat atau
antar kalimat.
5.
Pencitraan Merupakan sebuah gambaran pengalaman indera
yang diungkapkan lewat kata-kata gambaran berbagai pengalaman sensuris yang
dibangkitkan oleh kata-kata.
Referensi:
Ø Pengertian Gaya dalam Perspektif Kesejarahan dan
Hubungannya terhadap Karya Sastra Kumpulan Cerpen “Perempuan Semua Orang” Karya Teguh Winarsho AS.
Ø Ratna, N.
Kutha. (2004). Penelitian Sastra: Teori, Metode, dan Teknik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Ø Poe, Edgar
Allan. (2004). Kucing Hitam (Kumpulan Cerpen). Penelitian:
Anton Kurnia, Bandung, Nuansa. Cet.I.
Ø Nurgiyantoro,
Burhan. 2005. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.