Sondag 31 Maart 2013

Unsur Intrisik Prosa Fiksi


TEMA

A.     Pengertian tema
1.    Tema adalah gagasan dasar umum yang menopang sebuah karya sastra yang terkandung di dalam teks sebagai stuktur semantis dan menyangkut persamaan-persamaan atau perbedaan-perbedaan (Hartoko & Rahmanto, 1986;142).
2.    Tema adalah makna keseluruhan yang mendukung sebuah cerita.
3.    Tema adalah makna sebuah cerita yang secara khusus menerangkan sebagaian besar unsurnya dengan cara yang sederhana.Tema menurutnya kurang lebih dapat bersinonim dengan ide utama (central idea) dan tujuan utama (central purpose).(Stanton, 1965;21).
4.    Tema adalah subyek wacana, topik umum, atau masalah utama yang dituangkan ke dalam sebuah cerita (Shipley, 1962;417)

B.    Cara mencari tema
1.     Mencari makna atau hal-hal yang diungkap atau dibahas.
2.     Memilih makna yang paling banyak memasuki cerita.

C.    Penggolongan tema
1.    Tema mayor
Tema mayor adalah makna pokok cerita yang menjadi dasar atau gagasan dasar umum karya tersebut, atau bisa juga disebut tema yang paling utama.
2.    Tema minor
Tema minor adalah makna yang terdapat pada bagaian cerita atau bisa disebut sebagai tema sebagaian. Dengan demikian banyak sedikitnya tema minor tergantung pada banyak sedikitnya makna tambahan yang dapat ditafsirkan dari sebuah cerita novel.


3.    Tema tradisional
Tema tradisional adalah hal-hal yang daianggap otomatis terjadi sendiri di masyarakat. Pernyataan-pernyataan tema yang dapat dipandang sebagai bersifat itu misalnya berbunyi, “ Kebenaran dan keadilan mengalahkan kejaahatan, tindak kebenaran dan masing-masing akan memetik hasilnya (Jawa; becik ketitik ala ketara), atau (seperti pepatah- pantun) berakit-rakit kehulu berenang-renang ketepian, setelah menderita, orang baru mengingat Tuhan ”, dsb. Tema tradisional walau banyak variasinya, boleh dikatakan selalu ada kaitanya dengan masalah kebenaran dan kejahatan (Maredith & fizgerald, 1972;66).
4.    Tema non tradisional
Tema non tradisional adalah tema yang menyangkut sesuatu yang tidak lazim/non tradisional. Karena sifatnya yang non tradisional, tema yang demikian mungkin tidak sesuai dengan harapan pembaca, juga bersifat melawan arus, mengejutkan, bahkan boleh jadi mengesalkan, mengecewakan, atau berbagai reaksi afektif  yang lain.

D.    Tingkatan Tema Menurut Shipley
Tingkat pertama
Tema tingkat fisik, manusia sebagai (atau: dalam tingkat kejiwaan) molekul. Tema karya sastra pada tingkat ini lebih banyak menyaran dan ditunjukkan oleh banyaknya aktivitas fisik daripada kejiwaannya. Ia lebih menekankan mobilitas fisik dari pada kejiwaannya.
Tingkat kedua                
Tema tingkat organik, manusia sebagai (atau: dalam tingkat kejiwaanya) protoplasma. Tema karya sastra tingkat ini lebih banyak menyangkut dan mempersoalkan masalah seksualitas. Suatu aktivitas yang hanya dapat dilakukan oleh makhluk hidup.
Tingkat ketiga
Tema tingkat sosial, manusia sebagai makhluk sosial. Kehidupan bermasyarakat yang merupakan tempat aksi-interaksinya manusia dengan sesama dan lingkungan alam, mengandung banyak permasalahan, konflik, dan lain-lain yang menjadi objek pencarian tema.
Tingkat keempat
Tema tingkat egoik, manusia sebagai individu. Disamping sebagai makhluk sosial, manusia sekaligus juga sebagai makhluk individu yang senantiasa “menuntut” pengakuan atas hak individualitasnya
Tingkat kelima
Tema tingkat divine, manusia sebagai makhluk tingkat tinggi, yang belum tentu setiap manusia mengalami dan atau mencapainya. Masalah yang menonjol dalam tema tingkat ini adalah masalah hubungan manusia dengan sang pencipta, masalah religiositas, atau berbagai masalah yang bersifat filosofis lainnya seperti pandangan hidup, visi, dan keyakinan.

Tema dalam sebuah karya sastra selalu berkaitan dengan makna atau pengalaman kehidupan, melalui karyanya. Pengarang menawarkan makna tentang kehidupan, mengajak  pembaca melihat, merasakan dan menghayati makna kehidupan tersebut dengan cara memandang permasalahan tersebut sebagaimana ia memandangnya. Tema dapat dipandang sebagai dasar cerita, gagasan dasar umum, sebuah karya novel. Gagasan umum inilah yang tentunya telah ditentukan sebelumya oleh pengarang yang dipergunakan untuk mengembangkan sebuah cerita.

ALUR

A.     PENGERTIAN ALUR
Yaitu rangkaian peristiwa yang menggerakkan cerita untuk mencapai efek tertentu.  Banyak anggapan keliru mengenai plot. Sementara orang menganggap plot adalah jalan cerita. Dalam pengertian umum, plot adalah suatu permufakatan atau rancangan rahasia guna mencapai tujuan tertentu.  Rancangan tentang tujuan itu bukanlah plot, akan tetapi semua aktivitas untuk mencapai yang diinginkan itulah plot.
Atau, secara lebih gamblang plot adalah –menurut Aswendo Atmowiloto-  sebab-akibat yang membuat cerita berjalan dengan irama atau gaya dalam menghadirkan ide dasar.
Semua peristiwa yang terjadi di dalam cerita pendek harus berdasarkan hukum sebab-akibat, sehingga plot jelas tidak mengacu pada jalan cerita, tetapi menghubungkan semua peristiwa. Sehingga Jakob Sumardjo dalam Seluk-beluk Cerita Pendek menjelaskan tentang plot dengan mengatakan, “Contoh populer menerangkan arti plot adalah begini: Raja mati. Itu disebut jalan cerita. Tetapi raja mati karena sakit hati, adalah plot.”
Dalam cerpen biasanya digunakan plot ketat artinya bila salah satu kejadian ditiadakan jalan cerita menjadi terganggu dan bisa jadi, tak bisa dipahami. Adapun jenis plot bisa disederhanakan menjadi tiga jenis, yaitu:
1.              Plot keras, jika akhir cerita meledak keras di luar dugaan pembaca. Contohnya: cerpen-cerpen Anton Chekov, pengarang Rusia legendaris, cerpen-cerpen Trisnoyuwono yang terkumpul dalam Laki-laki dan Mesiu, cerpen-cerpen Subagio Sastrowardoyo dalam kumpulannya Kejantanan di Sumbing.
2.              Plot lembut, jika akhir cerita berupa bisikan, tidak mengejutkan pembaca, namun tetap disampaikan dengan mengesan sehingga seperti terus tergiang di telinga pembaca. Contoh, cerpen Seribu Kunang-kunang di Manhattan karya Umar Kayam, cerpen-cerpen Danarto dalam Godlob, dan hampir semua cerpen Guy de Maupassant, pengarang Perancis menggunakan plot berbisik.
3.              Plot lembut-meledak, atau plot meledak-lembut adalah campuran plot keras dan lembut. Contoh: cerpen Krawang-Bekasi milik Gerson Poyk, cerpen Bulan Mati karya R. Siyaranamual, dan cerpen Putu Wijaya berjudul Topeng bisa dimasukkan di sini.
Adapun jika kita melihat sifatnya, maka ada cerpen dengan plot terbuka, plot tertutup dan cempuran keduanya. Jadi sifat plot ada kalanya:
1.      Terbuka. Jika akhir cerita merangsang pembaca untuk mengembangkan jalan cerita, di samping masalah dasar persoalan.
2.      Tertutup. Akhir cerita tidak merangsang pembaca untuk meneruskan jalan cerita. Contoh Godlobnya Danarto.
3.      Campuran keduanya.

B.     KAIDAH ALUR

1.    Peristiwa.
Peristiwa adalah peralihan dari satu keadaan ke keadaan yang lain. Perstuwa sendiri dibedakan menjadi:
Ø  Peristiwa fungsional adalah peristiwa-peristiwa yang menentukkan dan mempengaruhi perkembangan alur. Urutan peristiwa fungsional merupakan inti dari cerita sebuah karya fiksi yang bersangkutan jika sejumlah peristiwa fungsional ditanggalkan maka akan menyebabkan cerita menjadi lain bahkan kurang logis.
Ø  Peristiwa kaitan adalah peristiwa yang berfungsi mengkaitkan peristiwa penting. Peristiwa kaitan kurang mempengaruhi pengembangan alur cerita, sehingga seandainya ditanggalkan pun, tidak akan mempengaruhi logika cerita.
Ø  Peristiwa acuan adalah peristiwa yang tidak secara langsung berpengaruh atau berhubungan dengan perkembangan alur melainkan mengacu pada unsur-unsur yang lain.

2.    Konflik.
Kaidah alur adalah kejadian yang tergolong penting atau hal yang menyebabkan tokoh menjadi tidak enak. Konflik terdiri dari:
Ø  Konflik eksternal adalah konflik yang terjadi antara seorang tokoh dengan sesuatu yang di luar dirinya, mungkin dengan lingkungan alam dan manusia.
Ø  Konflik fisik adalah konflik antara tokoh dengan alam.
Ø  Konflik internal adalah konflik yang ada dalam diri tokoh.

3.    Klimaks.
Klimaks adalah peristiwa yang membawa perubahan nasib dari tokoh. Klimaks terdiri dari:
Ø  Plausibilitas adalah sesuatu hal yang dapat dipercaya sesuai dengan logika cerita.
Ø  Tegangan adalah dibuat oleh pengarang agar pembaca mempunyai rasa ingin tahu.
Ø  Surprise adalah sesuatu yang bersifat mengejutkan jika sesuatu yang dikisahkan atau kejadian yang ditampilkan menyimpang.
Ø  Kepaduan adalah unsur yang ditampilkan, khususnya peristiwa fungsional, kaitan dan acuan memiliki keterkaitan satu sama lain.

C.    TAHAPAN ALUR

1.  Tahapan awal.
Tahapan awal adalah tahap permulaan dari sebuah cerita biasanya disebut tahap perkenalan yang berisi sejumlah informsi penting yang berkaitan dengan berbagai hal yang akan dikisahkan pada tahap berikutnya. Misalnya berupa pengenalan latar, pengenalan tokoh. Fungsi pokok tahap awal adalah untuk memberikan informasi dan penjelasan seperlunya khususnya yang berkaitan dengan pelataran dan penokohan.
2.  Tahap tengah.
Tahap tengah menampilkan pertentangan atau konflik yang sudah mulai pada tahap sebelumnya, menjadi semakin meningkat, dan semakin menegangkan.
3.  Tahap akhir.
Tahap akhir adalah tahap akhir sebuah cerita, atau dapt juga disebut sebagai tahap pelarian, menampilkan adegan tertentu sebagai akibat klimaks. Bagian ini berisi bagaimana kesudahan cerita, atau menyaran pada hal bagaimanakah akhir sebuah cerita.

D.    PEMBEDAAN ALUR

1.  Berdasarkan kriteria waktu.
Dibedakan menjadi dua yaitu kronologis dan tidak kronologis. Yang kronologis disebut juga alur lurus, maju atau dapat disebut juga progresif. Sedangkan yang kedua yang tidak kronologis disebut juga sorot balik, mundur atau regresif.

Ø  Alur lurus adalah alur yang dimulai dari depan atau awal.
Ø  Alur flashback adalah alur yang tidak harus dimulai dari awal cerita.
2.  Berdasarkan kriteria jumlah.
Ø Alur tunggal didalam cerita hanya menceritakan satu orang tokoh.
Ø Sub alur didalam sebuah cerita menceritakan banyak tokoh.
3.  Berdasarkan kriteria kepadatan.
Ø Alur padat adalah menceritakan satu tokoh dalam satu cerita. Peristiwa fungsional menyusul dengan cepat, hubungan antar peristiwa terjalin secara erat dan pembaca seolah-olah dipaksa untuk terus menggelutinya.
Ø Alur longgar adalah pergantian peristiwa berlangsung lambat disamping hubungan antar peristiwa tersebut tidaklah erat benar.
4.  Berdasarkan kriteria isi.
Ø  Alur peruntungan adalah alur yang alur yang berhubungan dengan cerita yang mengungkapkan nasib, peruntungan yang menimpa tokoh utama cerita yang bersangkutan.
Ø  Alur tokohan adalah alur tokohan yang menyaran adanya sifat pementungan tokoh yang menjadi pusat perhatian.
Ø  Alur pemikiran mengungkapkan sesuatu yang menjadi bahan pemikiran, keinginan, perasaan berbagai macam obsesi dan lain hal yang menjadi masalah hidup dan kehidupan manusia.

PENOKOHAN

A.     Pengertian Penokohan
1.    Penokohan adalah pelukisan gambaran yang jelas tentang seseorang yang ditampilkan dalam sebuah cerita.
2.    Penokohan adalah peran yang ditampilkan oleh pemain yang menggambarkan watak-watak tertentu dalam suatu cerita. Jones (1968: 33).
3.    Penokohan adalah orang-orang yang ditampilkan dalam suatu karya naratif, atau drama, yang oleh pembaca ditafsirkan memiliki kualitas moral dan kecenderungan tertentu seperti yang diekspresikan dalam ucapan dan apa yang dilakukan dalam tindakan. Abrams (1981: 20).
4.    Penokohan adalah cara pengarang menampilkan watak-watak pelaku dalam cerita. Pelaku dalam cerita dapat berupa manusia, binatang atau benda-benda mati yang diinsankan.
5.    Penokohan adalah pengeksploran terhadap watak-watak, yang digambarkan dalam cerita dan dituangkan melalui jiwa pemeran.
6.    Penokohan adalah gambaran mengenai watak-watak seseorang yang ada dalam cerita dan ditransfer kedalam jiwa pemeran kemudian dieksplor dengan cara sendiri.

B.    Macam-Macam Tokoh
1.  Berdasarkan peran tokoh dalam pengembangan plot:
a)     Tokoh utama
Yaitu pelaku yang memegang peran utama, dan yang terpenting dalam sebuah cerita. Pelaku ini sering muncul hampir pada setiap satuan kejadian, dari eksposisi sampai dengan penyelesaian.
b)     Tokoh pembantu
Yaitu pelaku yang bertugas membantu pelaku utama dalam rangkaian mata rantai cerita.
c)     Tokoh protogonis
       Yaitu pelaku yang memegang watak tertentu yang memegang ide kebenaran. Pelaku protagonis menjadi pusat cerita dan menjadi idola pembaca.


d)     Tokoh antagonis
Yaitu pelaku yang menentang pelaku protogonis sehingga terjadi konflik dalam cerita.
e)     Tokoh tritagonis
Yaitu pelaku yang menjadi penengah antara pelaku protogonis dan antagonis. Pelaku tritagonis biasanya muncul sebagai tokoh yang dapat membantu menyelesaikan konflik dalam cerita.
2.  Tokoh berdasarkan perwatakannya dibedakan menjadi:
a.     Tokoh sederhana.
Tokoh sederhana, dalam bentuknya yang asli, adalah tokoh yang hanya memiliki satu kualitas pribadi tertentu atau satu sifat watak tertentu saja. Sebagai seorang tokoh manusia, ia tak diungkap berbagai kemungkinan sisi kehidupannya. Ia tak memiliki sifat dan tingkah laku yang dapat memberikan efek kejutan dari pembaca. Sifatnya monoton, hanya mencerminkan satu watak tertentu. Tokoh sederhana dapat juga melakukan berbagai tindakan, namun semua tindakannya itu akan dapat dikembalikan pada perwatakan yang dimiliki dan yang telah diformulakan itu.
b.     Tokoh bulat.
Tokoh bulat adalah tokoh yang memiliki dan diungkap berbagai kemungkinan sisi kehidupannya, sisi kepribadian dan jati dirinya. Ia dapat juga memiliki wayak tertentu yang dapat yang dapat diformulasikan, namun ia pun dapat menampilkan watak dan tingkah laku bermacam-macam, bahkan mungkin seperti bertentangan dan sulit diduga. Tokoh ini bisa juga disebut juga dengan tokoh kompleks, karena sulit dipahami, terasa kurang familiar karena yang ditampilkan adalah tokoh(-tokoh) yang kurang akrab dan kurang dikenal sebelumnya. Tingkah lakunya sering tak terduga dan memberikan efek kejutan pada pembaca.

3.  Berdasarkan kriteria berkembang atau tidaknya perwatakan dibedakan menjadi:
a.     Tokoh statis.
Adalah tokoh cerita yang secara esensial tidak mengalami perubahan dan atau perkembangan perwatakan  sebagai akibat dari adanya peristiwa-peristiwa yang terjadi. ( Altenbernd & Lewis, 1966: 58). Jika diibaratkan tokoh statis adalah bagaikan batu karang yang tak tergoyahkan walau tiap hari dihantam dan disayang ombak, tokoh statis memiliki sikap dan wayak yang relatif tetap, tak berkembang, sejak awal sampai akhir cerita.
Ø   Tokoh hitam adalah tokoh yang dikonotasikan sebagai tokoh jahat.
Ø   Tokoh putih adalah tokoh yang dikonotasikan sebagai tokoh baik.
b.     Tokoh berkembang.
Adalah tokoh cerita yang mengalami perubahan dan perkembangan perwatakan sejalan dengan perkembangan (dan perubahan) peristiwa dan plot yang dikisahkan. Ia secara aktif berinteraksi dengan lingkungannya, baik lingkungan sosial, alam, maupun lingkungan yang lain, yang kesemuanya itu akan mempengaruhi sikap, watak, dan tingkah lakunya.
4.  Berdasarkan kemungkinan tokoh cerita terhadap (sekelompok) manusia dari kehidupan nyata:
a.     Tokoh tipikal.
Adalah tokoh yang hanya sedikit ditampilkan keadaan individualitasnya, dan lebih banyak ditonjolkan kualitas pekerjaan atau kebangsaannya (Altenbernd & Lewis, 1966: 60), atau sesuatu yang bersifat mewakili. Tokoh tipikal merupakan penggambaran, pencerminan, atau penunjukkan terhadap orang, atau sekelompok orang yang terikat oleh sebuah lembaga atau seorang individu sebagai bagaian dari suatu lembaga, yang ada di dunia nyata.
b.     Tokoh netral.
Adalah tokoh cerita yang bereksistensi demi cerita itu sendiri. Ia benar-benar tokoh imajiner yang hidup dan bereksistensi dalam dunia fiksi. Ia hadir (atau dihadirkan) semata-mata demi cerita, atau bahkan dialah sebenarnya empunya cerita, pelaku cerita, dan yang diceritakan. Kehadirannya tidak berpretensi untuk mewakili atau menggambarkan sesuatu yang di luar dirinya, seseorang yang berasal dari dunia nyata atau paling tidak, pembaca mengalami kesulitan untuk menafsirkannya sebagai bersifat mewakili berhubung kurang ada unsur bukti pencerminan dari kenyataan di dunia nyata.

C.        Teknik Pelukisan Tokoh
          Tokoh dalam cerita berfungsi sebagai penggerak alur cerita. Cara pengarang menggambarkan keadaan dan watak tokoh-tokohnya dapat melalui dua jalan, yaitu cara analitik dan cara dramatik.
1.      Cara analitik adalah pengarang bagaimana menjelaskan secara langsung keadaan dan watak tokoh-tokohnya.
2.      Cara dramatik adalah bagaimana cara pengarang melukiskan watak tokoh-tokohnya secara tidak langsung. Cara dramatik dapat dilakukan melalui berbagai macam cara yaitu:
a.     Teknik perbuatan tokoh.
       Perbuatan seseorang sesungguhnya merupakan perwujudan dari sikap hidup dan watak orang tersebut. Dalam sebuah cerita biasanya pengarang sering kali memakai tekhnik ini untuk melukiskan keadaan tokoh-tokoh ceritanya.
b.     Teknik tingkah laku.
                            Teknik tingkah laku menyaran pada tindakan yang bersifat nonverbal, fisik. Apa yang dilakukan orang dalam wujud tindakan dan tingkah laku, dalam banyak dapat dipandangsebagai menunjuk pada reaksi, tanggapan, sifat, dan sikap yang mencerminkan sifat-sifat kediriannya.
c.      Teknik reaksi tokoh lain terhadap tokoh utama (tokoh lainnya).
                            Sebagai makhluk sosial, seseorang tidak mungkin terlepas dari perbincangan orang lain. Dari perbincangan itu sering dibicarakan watak, tingkah laku, perbuatan dan sikap tentang diri seeorang. Dalam sebuah cerita pengarang pun kadangkala memkai reaksi tokoh lain ini untuk melukiskan keadaan tokoh ceritanya.
d.     Teknik keadaan sekitar tokoh.
                            Lingkungan sekitar tokoh berpengaruh terhadap diri seseorang atau sebaliknya, lingkungan seseorang tunggal itu sebenarnya manivestasi dari watak orang tersebut. Seorang pengarang sering juga melukiskan watak tokoh dengan menguraikan keadaan sekitar tokoh.
e.     Teknik pikiran dan perasaan tokoh.
                            Melalui jalan pikiran dan perasaan seseorang kita akan dapat mengetahui watak tokoh orang tersebut. Dalam cerita pengarang dapat juga melukiskan watak tokoh cerita dengan jalan menggambarkan pikiran dan perasaan tokoh.
f.       Teknik arus kesadaran.
       Teknik arus kesadaran (stream of consciousness) berkaitan erat dengan teknik pikiran dan perasaan. Keduanya tak dapat dibedakan secara pilah, bahkan mungkin dianggap sama karena memang sama-sama tingkah laku dan batin tokoh. Dawasa ini dalam fiksi modern teknik arus kesadaran dapat dipergunakan untuk melukiskan sifat-sifat kedirian tokoh. Arus kesadaran merupakan sebuah teknik narasi yang berusaha menangkap pandangan dan aliran proses mental tokoh, dimana tanggapan indera bercampur dengan kesadaran pikiran, perasan, ingatan, harapan, dan asosiasi-asosiasi acak (Abrams, 1981: 187).
g.     Teknik pelukisan fisik.
       Keadaan fisik seseorang sering berkaitan dengan keadaan jiwanya, atau paling tidak, pengarang sengaja mencari dan menghubungkan adanya pertentangan itu. Misalnya, bibir tipis menyaran pada sifat ceriwis dan bawel, rambut lurus menyaran pada sifat tak mau mengalah, pandangan mata tajam, hidung agak mendongak, bibir yang bagaimana dan lain-lain yang dapat menyaran pada sifat-sifat tertentu. Dan tentu saja hal tersebut berkaitan dengan pandangan (budaya)  masyarakat yang bersangkutan.

D.        Cara Menentukkan Tokoh atau Mencari Tokoh

1.     Melalui casting.
Jika kita ingin mencari seorang tokoh khususnya dalam drama atau film sebaiknya kita melalui casting atau seleksi. Biasanya sutradara memberi skenario dan peserta disuruh memperagakan adegan yang nantinya akan dipentaskan tersebut dengan mengeksplornya sendiri.
2.     Dalam novel kita menggunakan identifikasi tokoh.
Untuk mengenali secara lebih baik tokoh-tokoh cerita, kita perlu mengidentifikasi kedirian tokoh(-tokoh) itu secara cermat. Proses usaha identifikasi itu, tampaknya, akan sejalan dengan usaha pengarang dalam mengembangakan tokoh. Usaha pengidentifikasian yang dimaksud adalah melalui prinsip-prinsip sebagai berikut:
a.      Prinsip pengulangan.
       Tokoh cerita yang belum kita kenal, akan menjadi kenal dan akrab jika kita dapat menemukan dan mengidentifikasi adanya kesamaan sifat, sikap, watak, dan tingkah laku pada bagaian-bagaian selanjutnya. Prinsip pengulangan, karenanya, penting untuk mengembangkan dan mengungkapkan kedirian tokoh cerita (Luxemburg dkk, 1992: 139).
b.      Prinsip pengumpulan
       Seluruh kedirian tokoh diungkapkan sedikit demi sedikit dalam seluruh cerita. Usaha pengidentifikasian tokoh, dengan, demikian, dapat dilakukan dengan mengumpulkan data-data kedirian yang “tercecer” diseluruh cerita tersebut, sehingga akhirnya diperoleh data yang lengkap. Pengumpulan data ini penting, sebab data-data kedirian yang berserakan itu dapat digabungkan sehingga bersifat saling melengkapi dan menghasilkan gambaran yang padu tentang kedirian tokoh yang bersangkutan (Luxemburg dkk, 1992: 140).
c.      Prinsip kemiripan dan pertentangan.
       Identifikasi tokoh yang mempergunakan prinsip kemiripan dan pertentangan dilakukan dengan memperbandingkan antara seorang tokoh dengan tokoh lain dari cerita fiksi yang bersangkutan. Seorang tokoh mungkin saja memiliki sifat kedirian yang mirip dengan orang lain, namun tentu saja ia memiliki perbedaan-perbedaan. Dan ada kalanya kedirian seorang tokoh baru tampak secara lebih jelas setelah berada dalam pertentangannya dengan tokoh lain. Sebelum memperbandingkan masalah  adanya kemiripan dan pertentangan antar tokoh, terlebih dahulu kita menyeleksi data-data kedirian masing-masing tokoh tersebut. Artinya, sebelumnya kita haruslah telah mengidentifikasi perwatakan tokoh dengan mempergunakan prinsip pengulangan dan pengumpulan diatas. Hal itu disebabkan kita tak perlu membandingkan semua data kedirian tokoh, melainkan terbatas pada hal-hal yang memang mengandung unsur kemiripan dan pertentangan, sekaligus yang merupakan ciri-ciri menonjol.


LATAR ATAU SETTING

A.   PENGERTIAN LATAR ATAU SETTING
Latar merupakan background sebuah cerita, tempat kejadian, daerah penuturan atau wilayah yang melingkupi sebuah cerita.
Sebuah cerita pada hakikatnya ialah peristiwa atau kejadian yang menimpa atau dilakukan oleh satu atau beberapa orang tokoh pada suatu waktu tertentu dan pada tempat tertentu.
1.      Menurut Nadjid (2003:25) latar ialah penempatan waktu dan tempat beserta lingkungannya dalam prosa fiksi.
2.      Menurut Nurgiyantoro (2004:227—233) unsur latar dapat dibedakan ke dalam tiga unsur pokok, antara lain sebagai berikut. Berhadapan dengan karya fiksi, pada hakikatnya kita berhadapan dengan sebuah dunia, dunia dalam kemungkinan, sebuah dunia yang sudah dilengkapi dengan tokoh penghuni dan permasalahan. Namun tentu saja, hal itu kurang lengkap sebab tokoh dengan berbagai pengalaman hidupnya itu memerlukan ruang lingkup, tempat dan waktu, sebagaimana halnya kehidupan manusia di dunia nyata. Dengan kata lain, fiksi sebagai sebuah dunia, disamping membutuhkan tokoh, alut, dan plot juga perlu yang namanya latar.
3.      Latar adalah tempat, waktu atau keadaan terjadinya peristiwa (Nur Faizah 1998: 77)
4.      Latar adalah suasana untuk memperjelas satuan peristiwa dalam suatu cerita agar menjadi logis.
5.      Latar yang disebut juga sebagai landas tumpu, meyaran kepada pengertian tempat, hubungan waktu, dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan (Abrams, 1981:175). Stanton (1965) mengelompokkan latar, bersama dengan tokoh dan plot, ke dalam fakta atau cerita sebab ketiga hal inilah yang akan dihadapi, dan dapat diimajinasi oleh pembaca secara faktual jika membaca cerita fiksi. Atau, ketiga hal inilah yang secara konkret dan langsung membentuk cerita: tokoh cerita adalah pelaku dan penderita kejadian kejadian yang bersebab akibat, dan itu perlu pijakan, di mana dan kapan. Misalnya, dalam Bawuk karya Umar Kayam yang dengan tokoh utama Bawuk, cerita terjadi di Karangrandu, waktu sejak zaman penjajahan Belanda dan terutama sekitar masa pemberontakan G-30-S/PKI, lingkungan social Jawa kelas menengah atas.
Tahap awal karya fiksi pada umumnya brisi penyituasian, pengenalan terhadap yang diceritakan misalnya, pengenalan tokoh, pelukisan keadaan alam, lingkungan suasana, tempat, mungkin juga hubungan waktu dan lain-lain yang dapat menuntun pembaca secara emosional kepada suatu cerita.
Latar Fisik Dan Spritual. Membaca sebuah novel kita akan bertemu dengan lokasi tertentu seperti; nama kota, jalan, rumah, dan lain-lain tempat terjadinya pristiwa. Disamping itu, kita juga berurusan dengan hubungan waktu seperti; malam, siang, pukul, tanggal, keadaan geografis, atau kejadian yang menyaran pada waktu tipikal tertentu dan sebagainya.
Latar atau setting dalam fiksi bukan hanya sekedar background, artinya bukan hanya menunujukan tempat kejadian dan kapan terjadinya. Sebuah cerpen atau novel memang harus terjad di suatu tempat. Harus ada tempat dan ruang kejadian. Dalam fiksi lama tempat kejadian cerita dan tahun-tahun terjadinya disebutkan panjang lebar oleh penulisnya. Dan disitu setting hanya sekedar tempat terjadinya.
Pengarang merupakan anggota yang hidup dan berhubungan dengan orang- orang yang berada disekitarnya, maka dalam proses penciptaan karya sastra seorang pengarang tidak terlepas dari pengaruh lingkungannya. Oleh karena itu karya sastra yang lahir ditengah-tengah masyarakat merupakan hasil pengungkapan jiwa pengarang tentang kehidupan, peristiwa, serta pengalaman hidup yang telah dihayatinya.
Sebagai anggota masyarakat, pengarang dalam menciptakan suatu karya sastra mencerminkan kondisi masyarakatnya. Oleh karena itu, sebuah karya sastra tidak pernah berangkat dari kekosongan sosial. Artinya karya sastra tersebut ditulis berdasarkan kehidupan sosial masyarakat tertentu dan menceritakan kebudayaan-kebudayaan yang melatarbelakanginya.

B.  PENGERTIAN LATAR BERDASARKAN FUNGSINYA
      Dari sisi fungsinya latar sebagai pembangkit tanggapan atau suasana tertentu dalam suatu cerita. Fungsi latar yang dimaksud adalah fungsi latar sebagai metafor dan dan latar sebagai atmosfir.
a) Latar Sebagai Metafor
Penggunaan istilah metafor mengarah pada suatu perbandingan yang mungkin berupa sifat keadaan, suasana ataupun sesuatu yang lain. secara prinsip metafor merupakan cara memandang atau menerima melalui sesuatu yang lain.
b) Latar Sebagai Atmosfir
Latar yang secara langsung menyihir pembaca membawanya kepada suasana tertentu, seperti suasana sedih, marah, muram, seram, dan sebagainya. Hal ini sangat penting karena disinilah kecerdasan para penulis menciptakan penyituasian yang dapat menarik pembaca terhanyut dalam suasana yang terterah dalam suatu karya sastranya.
Nurgiyantoro, Burhan. 1995. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Aminuddin. 2002. Pengantar Apresiasi Karya Sastra. Bandung: Sinar Baru Algesindo.
Nurgiyantoro, Burhan. 2005. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
Gaja Mada University Press.
C.   JENIS-JENIS LATAR
1.     Latar Tempat.
     Latar tempat menggambarkan lokasi terjadinya peristiwa yang diceritakan dalam sebuah cerita. Penggambaran latar tempat ini hendaklah tidak bertentangan dengan realita tempat yang bersangkutan, hingga pembaca (terutama yang mengenal tempat tersebut) menjadi tidak yakin dengan apa yang kita sampaikan. Kecuali kalau kita memang ingin menciptakan tempat yang benar-benar fiktif seperti novel saya, Bayangan Lenggini. Kok contohnya karya saya lagi, ya? Hehe biasa, demi menghindari resiko jika salah menyebutkan karya orang lain. Atau promosi? Ah, itu pastilah!
2.      Latar Waktu
       Latar Waktu menggambarkan kapan sebuah peristiwa itu terjadi. Dalam sebuah cerita sejarah, hal ini penting diperhatikan. Sebab waktu yang tidak konsisten akan menyebabkan rancunya sejarah itu sendiri. Latar waktu juga meliputi lamanya proses penceritaan. Nah, kalau ini contoh yang tepat adalah novel Titip Rindu Buat Ibu. Karya siapa? Ya pastinya Novia Syahidah dong, hihi… Itu kan novel. Cerpen? Ada kok cerpen yang menceritakan kisah si Tokoh dari lahir sampai meninggal, ada juga yang hanya menceritakan peristiwa selama satu malam, satu jam, bahkan bisa juga lebih singkat dari itu.
3.      Latar Sosial
       Latar sosial mencakup hal-hal yang berhubungan dengan kondisi tokoh atau masyarakat yang diceritakan dalam sebuah cerita. Termasuk di dalamnya adat istiadat, keyakinan, perilaku, budaya, dan sebagainya. Latar sosial sangat penting diketahui secara benar sebagaimana latar tempat, sebab hal ini berkaitan erat dengan nama, bahasa dan status tokoh dalam cerita.
4.      Latar Emosional
       Latar emosional lebih sering muncul saat membangun konflik, hingga ia memiliki peran yang sangat penting dalam sebuah cerita. Ada cerita yang secara keseluruhan hanya bercerita tentang konflik emosi seorang tokoh, hingga latar cerita pun total berupa emosi. Latar emosi ini biasanya terbaca melalui dialog-dialog, perenungan dan kecamuk perasaan si Tokoh
5.      Latar Netral Dan Tipikal
a. Latar netral tidak memiliki dan tidak mendiskripsikan sifat khas tertentu yang menonjol yang terdapat dalam sebuah latar, sesuatu yang mungkin dapat membedakannya dengan latar-latar lain. Sifat yang ditunjukan latar tersebut lebih bersifat umum terhadap hal yang sejenis misalnya, desa, kota hutan, pasar, sehingga hal tersebut dapat berlaku dimana saja.
b. Latar tipikal
 memiliki dan menonjolkan sifat yang khas latar tertentu. Misalnya pada saat membaca Pengakuan Pariyem kita akan merasakan dominannya lingkungan social yang yang digambarkan, yaitu lingkungan masyarakat jawa. Dengan maksud agar pembaca terkesan dan dapat membandingkannya bahwa karya tersebut benar adanya dengan kenyataan realitisnya.
 Penekanan Unsur Latar
       Penekanan unsur-unsur latar bermaksud memperjelas suatu cerita baik itu dari gaya bahasa, karakter tokoh, geografis, social budaya, dan sebagainya. Sehingga membuat pembaca mejadi lebih pekah atau lebih memahami bahan bacaannya.
 Latar Dan Unsur Fiksi Yang Lain
       Latar sangat erat kaitannya dengan unsur fiksi yang lain dan bersifat timbal balik. Sifat-sifat latar dalam banyak hal akan mempengaruhi sifat-sifat tokoh. Bahkan bisa dikatakan bahwa sifat seseorang dibentuk oleh latarnya. Suatu contoh bisa kita lihat pada perbedaan sosial budaya, pola pikir, tingakah laku dan yang lainya pada setiap tokoh.
 UNSUR LATAR
           
Melalui analisis terhadap latar, seseorang dapat mengetahui bagaimana keadaan, pekerjaan, dan status sosial para tokoh. Seringkali latar juga berhubungan erat dengan nasib seorang tokoh dalam sebuah teks. Artinya lingkungan sekitar kerap memberikan efek secara langsung terhadap apa yang dikerjakan seorang pelaku. Ketika hujan dan seorang tokoh sedang berjalan, maka ia akan mencari tempat berteduh dan jika ia mempunyai payung maka ia akan segera menembus hujan. Tapi bila tidak sangat mngkin ia akan melakukan interaksi dengan orang yang juga tengah berteduh.
Secara umum latar dibagi dalam:
     a. latar tempat
            Latar tempat ialah tempat atau daerah terjadinya sebuah peristiwa dalam cerita. Sangat mungkin latar tempat sebuah karya fiksi terdapat di dalam ruangan dan tidak menutup kemungkinan latar tempat terjadi di ruang lingkungan. Di jalanan atau di sebuah kota misalnya.
b. Latar Waktu
            Latar waktu ialah waktu terjadinya sebuah peristiwa dalam cerita. Latar waktu bisa berupa detik, menit, jam, jari, minggu, bulan, tahun, dan seterusnya. Tetapi juga sangat mungkin pengarang tida menentukan secara persis tahun, tanggal atau hari terjadinya peristiwa, namun hanya menyebutkan saat Hari Raya, Natal, tahun baru dan sebagainya yang pada akhirnya juga akan engacu kepada waktu seperti tanggal dan bulan tergantung latar tempat dalam cerita. Misalnya tahun baru di Indonesia identik dengan 1 Januari, namun di Arab tahun baru lebih identik pada 1 Muharram.
c. Latar Sosial
            Latar sosial ialah lingkungan hidup dan sistem kehidupan yang ada di tengah-tengah para tokoh dalam sebuah cerita. Pada umumnya latar sosial berhubungan erat dengan tiga latar lainnya. Misalnya seorang mahasiswa umumnya tinggal di kos dan hanya memiliki dua buah gelas di kamarnya dan seseorang bisa dipastikan menduduki kelas sosial yang tinggi dalam sistem kehidupan bila ia memiliki sopir dan pergi dengan alat transportasi mobil BMW.
      d. Latar Alat
            Latar alat ialah benda-benda yang digunakan tokoh dalam sebuah cerita dan berhubungan dengan suatu lingkungan kehidupan tertentu. Misalnya laptop, pena, buku catatan, KTM merupakan alat-alat yang khas dimiliki mahasiswa.
e. Anakronisme
            Ketidaksesuaian dengan urutan perkembangan waktu dalam sebuah cerita. Seperti, ketidaksesuaian antara waktu cerita dengan waktu sejarah biasanya menggunakan dua waktu yang berbedah dalam masa berlakunya dalam satu waktu pada sebuah karya fiksi. Penyebab anakronisme berupa masuknya “waktu” lampau ke dalam cerita yang berlatar waktu kini, atau sebaliknya masuknya waktu masa “kini” ke dalam cerita yang berlatar waktu lampau. Waktunya bisa berupa situasi, keadaan tempat, budaya, benda-benda tertentu, nama, bahkan juga bahasa, yang hanya dimiliki oleh atau telah dimiliki pada waktu tertentu.
Nursasongko, Pekik. 8 Januari 2008. Analisis Latar Pada Cerpen (online)
(www.AnalisisLatarPadaCerpenPekikNursasongko.htm) diakses 05-Mei-2009
D.   CARA MENENTUKAN LATAR ATAU SETTING
      Dalam menentukan setting, dapat dilakukan dengan cara:
  1. Biografi Karakter
Menjelaskan secara singkat latar belakang, kepribadian, hubungan si tokoh dengan beberapa tokoh/karakter kunci lain yang berperan didalamnya. Menuliskan ini akan membantu menemukan apa yang dimiliki oleh tiap-tiap karakter dalam satu tempat.
  1. Atribut Karakter
Atribut atau pelengkap disini bisa jadi adalah secara fisik, emosi, intelektual, dan sosial. Atribut secara psikologis tidak dituliskan karena hal tersebut akan ditemukan dibagian emosi.
  1. Deskripsi Tempat
Dalam sebuah cerita, kita dapat memberikan deskripsi/gambaran suatu tempat yang berbeda-beda pada banyak adegan yang mempunyai hubungan tempat dan karakter.

Nurgiyantoro, Burhan. 1995. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gaja Mada University Press.
http://semuamasalah007.blogspot.com/2009/01/macam-macam-latarsetting.html


SUDUT PANDANG

*      PENGERTIAN SUDUT PANDANG  (POINT OF VIEW)
1.    Sudut pandang (point of view) merupakan strategi, teknik, siasat, yang secara sengaja dipilih pengarang untuk mengemukakan gagasan dan ceritanya. Segala sesuatu yang dikemukakan dalam karya fiksi memang milik pengarang, pandangan hidup, dan tafsirannya terhadap kehidupan.
2.    Sudut pandang merupakan posisi pengarang terhadap peristiwa-peristiwa dalam cerita sudut pandang (point of view) menyaran pada sebuah cerita yang dikisahkan. (Abrams, 1981;142 .dalam Nurgiyantoro, 2005; 248). Dalam cerita rekaan sudut pandang dianggap sebagai salah satu unsur fiksi yang penting dan menentukan.
3.    Sudut pandang merupakan teknik yang dipergunakan pengarang untuk menemukan dan menyampaikan makna karya artistiknya. Untuk dapat sampai dan berhubungan dengan pembaca. (Boot, dalam Stevick, 1967:89).
4.    Sudut pandang adalah cara memandang dan menghadirkan tokoh-tokoh cerita dengan menempatkan dirinya pada posisi tertentu.
5.    Sudut pandang merupakan sarana untuk menyajikan tokoh, tindakan, latar, dan berbagai peristiwayang membentuk cerita dalam sebuah karya fiksi.

*      MACAM-MACAM SUDUT PANDANG
1. Sudut pandang persona orang tokoh cerita”dia”
            Dalam sudut pandang ini narator adalah seorang yang berada di luar cerita yang menampilkan tokoh-tokoh cerita dengan menyebutkan nama atau kata gantinya ; ia, dia, mereka.

2. Sudut pandang persona pertama ”Aku”
            Dalam sudut pandang ini narator adalah seorang ikut terlibat dalam cerita. Ia adalah si ”Aku” tokoh yang berkisah, mengisahkan kesadaran dirinya. Si ”Aku” tentu saja mempunyai nama, namun karena ia mengisahkan pengalaman sendiri, nama itu jarang tersebut. Penyebutan nama si ”Aku” mungkin justru berasal ari ucapan tokoh lain yang bagi si ”aku” merupakan tokoh ”dia”.
3. Sudut pandang campuran
            Pengarang sudut pandang yang bersifat campuran itu di dalam sebuah cerita rekaan, mungkin berupa penggunaan sudut pandang persona ketiga dengan teknik ”dia” mahatahu dan ”dia” sebagai pengamat, persona pertama dengan teknik ”aku” sebagai tokoh utama dan ”aku” tambahan, bahkan dapat berupa campuran antara persona pertama dan ketiga, antara ”aku” dan ”dia” sekaligus (Nurgiyantoro, 2005;2006).
4. Sudut pandangan yang berkuasa.
            Merupakan teknik yang menggunakan kekuasaan si pengarang untuk menceritakan sesuatu sebagai pencipta. Sudut pandangan yang berkuasa ini membuat cerita sangat informatif. Sudut pandanga ini lebih cocok untuk cerita-cerita bertendens. Para pujangga Balai Pustaka banyak yang menggunakan teknik ini. Jika tidak hati-hati dan piawai sudut pandangan berkuasa akan menjadikan cerpen terasa menggurui.
REFERENSI:

Ø  Aminuddin. 2002. Pengantar Apresiasi Karya Sastra. Bandung: Sinar Baru Algesindo.
Ø  Nurgiyantoro, Burhan. 2005. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
Ø  Hamka. 1970. Tenggelamnya Kapal


GAYA BAHASA

*      PENGERTIAN GAYA BAHASA
  1. Bahasa adalah cara pengucapan bahasa dalam prosa atau bagaimana seorang pengarang mengungkapkan sesuatu yang akan dikemukakan.
  2. Bahasa adalah alat penyampaian maksud pengarang, dan juga sebagai penyampaian perasaan.
  3. Bahasa adalah bentuk ungkapan yang digunakan oleh pengarang untuk menyampaikan ceritanya.
  4. Bahasa adalah penggunaan perbandingan, menghidupkan benda mati, melukiskan sesuatu yang tidak sewajarnya oleh pengarang dalam karya fiksi.
  5. Bahasa adalah alat atau sarana untuk menyampaikan ide atau gagasan pengarang dalam sebuah karya fiksi.

*      JENIS-JENIS GAYA BAHASA
Jenis-jenis gaya bahasa antara lain :
1.   Personifikasi
2.   Perbandingan Metafora
3.   Alegori
4.   Perumpamaan
5.   Majas Hiperbola
6.   Pertentangan Ironi
7.   Litotes
8.   Metonimia
9.   Pertautan Alusio
10. Eufimisme
11. Sinekdok
12. Parsprototo Totemproparte
 
 Statistika : Kajian terhadap wujud performansi kebahasaan, khususnya yang terdapat di dalam karya sastra yang bertujuan untuk menentukan seberapa jauh dan dalam hal apa bahasa yang dipergunakan itu memperlihatkan penyimpangan dan bagaimana pengarang mempergunakan tanda-tanda linguistik untuk memperoleh efek khusus.
Ø  Unsur gaya bahasa.

1.    Unsur leksikal Mengacu pada pengertian penggunaan kata-kata tertentu yang sengaja dipilih oleh pengarang.
2.    Unsur gramatikal : Unsur yang menyaran pada pengertian struktur kalimat.
3.    Retorika : Merupakan suatu cara penggunaan bahasa untuk memperoleh efek estetis yang dapat diperoleh melalui kreativitas pengungkapan bahasa yaitu pengarang menyiasati bahasa sebagai sarana untuk mengungkapkan gagasannya.
4.    Kohesi : Antara bagian kalimat yang satu dengan yang lain, terdapat hubungan yang bersifat mengaitkan antar bagian kalimat atau antar kalimat.
5.    Pencitraan Merupakan sebuah gambaran pengalaman indera yang diungkapkan lewat kata-kata gambaran berbagai pengalaman sensuris yang dibangkitkan oleh kata-kata.


Referensi:

Ø Pengertian Gaya dalam Perspektif Kesejarahan dan Hubungannya terhadap Karya Sastra Kumpulan Cerpen “Perempuan Semua Orang” Karya Teguh Winarsho AS.

Ø  Ratna, N. Kutha. (2004). Penelitian Sastra: Teori, Metode, dan Teknik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Ø  Poe, Edgar Allan. (2004). Kucing Hitam (Kumpulan Cerpen). Penelitian: Anton Kurnia, Bandung, Nuansa. Cet.I.
Ø  Nurgiyantoro, Burhan. 2005. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gajah Mada University Press.